Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com

Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB. Suasana di kantin Polres Samosir tampak tenang. Di sudut ruangan yang sederhana, empat orang wartawan duduk sembari menatap layar ponsel, sesekali menyeruput kopi dan memperbaiki posisi duduk mereka yang telah lama diam. Bukan sedang bersantai. Mereka sedang menunggu, jumat 10 april 2025.

Menunggu adalah rutinitas tak tertulis dalam profesi jurnalis. Terutama bagi mereka yang bergelut dalam peliputan di institusi penegak hukum. Tak jarang informasi penting datang dalam hitungan menit—atau tidak datang sama sekali.

Setia pada Profesi

Keempat wartawan ini bukan sekadar hadir. Mereka adalah penjaga informasi, mata dan telinga publik yang berharap tak melewatkan setiap kabar yang bisa berdampak luas. Menunggu di kantin Polres bukan hal baru bagi mereka. Ini adalah bagian dari perjuangan panjang mencari informasi yang akurat dan layak diberitakan.

Keempat wartawan yang setia ini Tetty Naibaho dari media Online Top Metro News, Pangihutan Sinaga dari Mistar, Josner dari wartawan Mistar dan Hotman Siagian dari Mita News, Prestasi Reformasi.

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Samosir, Tetty Naibaho, yang turut berada di lokasi, memberikan pandangannya mengenai situasi ini.

“Wartawan bukan hanya penulis berita. Mereka adalah penyaring kebenaran. Di tengah informasi yang berseliweran dan hoaks yang merajalela, wartawan harus sabar, teliti, dan tetap memegang teguh integritas,” ujar Tetty sembari memandang rekan-rekan seprofesinya.

Menunggu Tak Pernah Mudah

Bagi kebanyakan orang, menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Namun bagi wartawan, menunggu bisa jadi panggilan moral.

“Kadang kami sudah duduk dari pagi, belum tentu dapat info. Tapi kalau nggak nunggu, bisa saja ada rilis penting yang luput,” ungkap salah satu wartawan senior yang enggan disebut namanya. “Menunggu itu melelahkan, tapi kalau hasilnya bisa memberi pemahaman kepada masyarakat, semua terbayar.”

Informasi sebagai Bahan Baku Pengetahuan

Tetty menegaskan bahwa informasi yang didapat bukan untuk sekadar dikabarkan. Ia harus diverifikasi, dianalisis, dan disajikan secara etis. Di situlah terlihat kerja intelektual seorang jurnalis.

“Dalam kesabaran menunggu, jurnalis menempa dirinya. Mereka belajar berpikir jernih, mengolah emosi, dan menulis dengan empati. Sebab tulisan yang baik bukan hanya menyampaikan fakta, tapi juga membawa makna,” tambahnya.

Redam Emosi, Jaga Objektivitas

Dalam peliputan kasus-kasus yang sensitif, emosi sering kali naik turun. Namun Tetty mengingatkan, wartawan harus mampu menjaga jarak emosional.

“Sesekali dalam menjalankan tugas, kita perlu belajar meredam amarah. Jangan membawa rasa benci ke dalam tulisan. Objek pemberitaan bisa siapa saja, tapi sikap kita harus tetap objektif,” katanya.

Lebih dari Sekadar Menulis

Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan menulis. Ia adalah pengabdian kepada kebenaran. Di balik berita-berita yang tersaji di layar ponsel pembaca, ada proses panjang: menggali informasi, mengonfirmasi, dan menyajikannya dengan jujur.

Di balik itu semua, ada wartawan yang sabar menanti, di sudut kantin yang sederhana, dengan secangkir kopi dan setumpuk harapan bahwa apa yang mereka tulis hari ini bisa berdampak esok hari. ( Dhs/h)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *