Medan, PRESTASIREFORMASI.Com – Tan Malaka adalah Pahlawan Nasional Indonesia yang sempat terlupakan. Kebenciannya terhadap ketidakadilan dan kolonialisme membawa lulusan sekolah guru pemerintah Belanda itu pada jalan revolusi.
Tan Malaka adalah seorang yang cerdas, ia sangat menikmati pelajaran bahasa Belanda.
Salah seorang gurunya GH Horensma melihat talenta yang dimiliki Tan Malaka, sehingga membawanya kuliah di Rijkskeekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah) di Belanda.
Buku de Fransche Revolutie yang didapatkan sebelum keberangkatannya ke Belanda menjadi jendela ketertarikannya pada jalan revolusi.
Menarik, sepulang dari Belanda, Tan Malaka menjadi guru bahasa Melayu bagi anak buruh perkebunan teh dan tembakau di Senembah, Sumatera Utara.
Tokoh satu ini melihat kehidupan rakyat Indonesia yang menderita, melihat dengan mata kepalanya sendiri dan merasakan dari setiap tarikan nafas dan denyut nadinya, kaum buruh yang sering ditipu karena tidak pandai berhitung, di peras keringatnya, diberi upah rendah.
Lahir sebagai Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka, di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1894. Seorang pejuang nasionalis dan pemikir yang begitu revolusioner, radikal dan militan. Bahkan pemikiran-pemikirannya begitu berbobot dan didukung sikapnya yang konsisten.
Menjelang peristiwa yang begitu sakral itu, Proklamasi 17 Agustus 1945, tokoh-tokoh pemuda seperti dari Kelompok Menteng 31 banyak dipengaruhi dengan pemikiran-pemikiran Tan Malaka, melalui diskusi-diskusi yang dilakukan di antara mereka.
Bahkan karya pemikiran Tan Malaka yang berjudul Massa Aksi, kemudian dijadikan sebagai rujukan oleh para tokoh pejuang kemerdekaan, termasuk Bung Karno sendiri.
Hingga suatu waktu; “Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar.”
“Hari ini aku datang kepadamu, wahai Sukarno sahabatku. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen. Hari ini aku melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka cita menjadi ambtenaar. Kemerdekaan hanyalah milik kalian, bukan milik rakyat,” tegasnya.
Kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti merdeka, dan apabila kalian tidak segera memperbaikinya maka sampai kapan pun bangsa ini tidak akan pernah merdeka! Hanya para pemimpinnya yang akan mengalami kemerdekaan, karena hanya merdeka adil dan makmur itu dirasakan.
“Dengarlah perlawanan ku ini…karena apabila kalian tetap bersikap seperti ini, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai seorang sahabat dan saudara. Esok, adalah hari dimana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk merdeka 100 persen.”
Itulah kalimat yang Tan Malaka ucapkan tatkala bertemu dengan Sukarno, Hatta dan Agus Salim pada 24 Januari 1946, “Hengky Datuk Tan Malaka VII.”
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati dan dimakamkan di Selopanggung, Kediri.
Meski Presiden Soekarno mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional pada 28 Maret 1963, saat Orde Baru muncul, Tan Malaka seperti sengaja dihilangkan dari sejarah.
Namanya dicoret dari daftar nama pahlawan nasional.
Bahkan tidak pernah dibahas dalam buku pelajaran sekolah.
Pendiri Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 7 November 1948, mendaulat Sukarni menjadi Ketua Partai yang memiliki landasan antifasisme, anti imperialisme, dan anti kapitalisme.
Tan Malaka adalah sosok yang konsisten memperjuangkan ide dan gagasan-gagasannya.
Pertanyaan selanjutnya apakah Tan Malaka Pejuang Revolusioner atau beliau seorang Pembangkang.
Untuk mengetahui gagasan, perjuangan dan cita-cita dari sosok seorang Tan Malaka, serta kiprahnya, penulis berkesempatan bertemu dan mendapat pencerahan dari Prof .H. Usman Pelly, MA, Ph. D seorang antropologi Indonesia, sosiologi senior, guru besar, mendapatkan gelar Ph.D dalam bidang Antropologi Kependudukan pada University of Illinois, Urbana – Champaign Chicago, 1983 dengan predikat Cumlaude.
Berbagai jabatan telah disandangnya seperti Ketua Umum Pengurus Yayasan UISU (Universitas Islam Sumatera Utara) di Medan (2008-2013).
Sekarang aktif sebagai external exammanitor di dalam dan luar negeri. Pria berdarah minang, Tokoh Akademisi, Birokrat, Tokoh Organisasi Kemasarakatan dan Tokoh senior HMI Sumatera Utara.
Dia lahir di Lhokseumawe 84 tahun silam, daya ingat, pemikiran yang bernas dan jernih mengalir mengikuti alurnya.
Siang itu kami janji bertemu di rumahnya, pukul 17.00 wib, Rabu (8/6/2022) sesuai jadwal yang disepakati, di rumahnya sekaligus perpustakaan Casa Mesra.
Terlihat ribuan koleksi buku tersusun rapi, tidak kurang sebanyak 35.000 judul buku dari berbagai disiplin ilmu mulai dari ensiklopedia, sosiologi, antropologi, hukum, budaya di Graha Unimed jl. Pelajar Timur 18 Medan.
Dia menyebut, siang tadi baru menjenguk Prof.Dr.M. Solly Lubis yang saat ini terbaring sakit di rumahnya di komplek perumahan dosen USU.
Solly Lubis ” Sang Pelopor Konsep Dasar Sistem Kehidupan Nasional”. “Sebagai sahabat saya menjenguk agar Prof. Solly Lubis segera diberikan kesembuhan, “ujar Prof. Usman Pelly.
Sambil menyeruput secangkir teh hangat
yang sudah terhidang, kami memulai pembicaraan tentang sosok Tan Malaka, sambil sesekali bercampur dengan bahasa minang (maklum kami sama-sama satu kampuang) nun di nagari Maninjau yang terkenal dengan alam yang indah dan danaunya yang eksotik.
Berbicara mengenai sosok Tan Malaka pendiri Partai Murba bagi sebagian orang adalah tokoh misterius.
Usman Pelly memulai dari pemberontakan 1926 dari Banten dan Silungkang, Sumatera Barat, merupakan pemberontakan pertama kaum perintis kemerdekaan Indonesia.
“Pemberontakan ini sangat besar artinya bagi sejarah Indonesia, dalam peristiwa itu, kaum komunis dan agamis bekerjasama memukul pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Inilah untuk pertama dan terakhir kalinya PKI menjalin kerja sama dengan kaum agama,” ujar Usman Pelly.
Kembali melihat sejarah tahun 1905, di Solo lahir Sarekat Dagang Islam (SDI), lahir SDI di ikuti dengan berbagai organisasi dan Partai Politik seperti Boedi Oetomo (BO) 1908, Indische Partaj (IP) 1912, Indische Sosial Democrat Vereeniging (ISDV) 1914.
Sarekat Dagang Islam kemudian menjadi Sarekat Islam (SI).
Kehadiran ISDV disambut oleh Tan Malaka dan kawan-kawan.
Pada tahun 1919 usulan agar ISDV dibubarkan dan diganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) telah mencuat.
Saat itu, Tan Malaka sempat mengusulkan dari tempatnya mengajar di Senembah MIJ Sumatera Utara, agar ISDV diganti menjadi Partai Nasional Revolusioner Indononesia untuk menghindari tuduhan PKI sebagai alat Rusia dan Asing di tanah Hindia Belanda, namun akhirnya ISDV adalah resmi menjadi Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1920.
Menarik pidato Tan Malaka pada kongres Komintren (komunis internasional) di Moskow tahun 1922, ia mengusulkan agar komunisme dan Pan- Islamisme dapat berkolaborasi, namun usulannya ditolak banyak orang.
Tan Malaka menyampaikan kita harus menelaah Islam agar komunis bisa bersatu dengan Islam, Tan Malaka sendiri tidak memusuhi Islam, ” ungkap Prof.Usman Pelly.
Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya Politik dan ekonomi, 1948) maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke Indonesi-an serta benang merah kemandirian yang merupakan sikap konsisten yang jelas pada gagasan-gagasan dalam perjuangannya.
Sarekat Islam Terbelah.
Konflik yang terjadi di tubuh Sarekat Islam (SI) antara Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdul Muis, ketiganya berasal dati Central Sarekat Islam (CSI) Yogyakarta, dan Sarekat Islam yang dipimpin oleh Tan Malaka, Semaun dan Darsono berasal dari SI semarang.
Bagi Tan Malaka sendiri perpecahan ini terjadi karena persoalan pribadi yang prinsipil.
Lebih lanjut Tan Malaka mengatakan medan perjuangan, medan peperangan bukan di Moskow, bukan di RRC tapi di Indonesia, dan banyak tokoh-tokoh komunis yang berorientasi kepada Tan Malaka, ” lanjut Usman Pelly.
Pertanyaan, sekali lagi pertanyaan yang bisa menjadi bahan kajian adalah mengapa banyak tokoh-tokoh komunis berasal dari Sumatera Barat sebut saja DN Aidit, Dt Batuah, Arif Fadhillah, Natar Zainuddin dan ada beberapa lagi.
“Bahkan menurut Buya Hamka mata pelajaran (mata kuliah) komunis-Islam telah diajarkan di perguruan Parabek,” ungkap Prof.Usman Pelly.
“Meski sosoknya yang kontraversial , Tan Malaka memberi banyak sumbangsih bagi bangsa Indonesia, tugas generasi muda lah untuk menggali lebih dalam gerak dan perjuangan seorang Tan Malaka secara utuh,” pungkas Usman Pelly.
Tidak terasa diskusi kami berakhir dengan berkumandangnya azan maghrib dari masjid di komplek Graha Unimed. (h/Abdul Aziz, ST
Pemerhati sosial dan lingkungan.)