Dalam sistem sosial Batak, konsep Bius merujuk pada komunitas adat yang mengatur kehidupan sosial, budaya, serta hukum di suatu wilayah. Di Pangururan, Bius Sitolu Hae Horbo merupakan salah satu komunitas adat yang berperan dalam menjaga serta mengelola wilayah mereka.

Pendirian Monumen Sitolu Hae Horbo memiliki beberapa tujuan utama, di antaranya:

Melestarikan Budaya – Monumen ini didirikan sebagai bentuk pelestarian serta pengenalan budaya Batak kepada generasi muda dan pengunjung.

Menghormati Leluhur – Memberikan penghormatan kepada tiga marga yang berperan dalam sejarah dan perkembangan masyarakat di Pangururan.

Menambah Daya Tarik Wisata – Monumen ini juga bertujuan untuk meningkatkan sektor pariwisata di Kabupaten Samosir, khususnya di kawasan Waterfront City Pangururan.

Keberadaan Monumen Sitolu Hae Horbo memberikan berbagai manfaat bagi masyarakat.

Sebagai Sarana Pendidikan – Monumen ini menjadi media edukasi bagi masyarakat lokal dan wisatawan mengenai sejarah serta budaya Batak.

Dengan adanya monumen ini, diharapkan dapat menarik wisatawan yang pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, khususnya di bidang pariwisata.

Monumen ini membantu memperkuat identitas masyarakat Batak serta menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap warisan budaya yang dimiliki.

Monumen Sitolu Hae Horbo bukan hanya sekadar simbol budaya, tetapi juga menjadi warisan sejarah yang berharga bagi masyarakat Batak. Dengan adanya monumen ini, diharapkan nilai-nilai luhur budaya Batak dapat terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Sejarah yang Tercatat di Monumen Sitolu Hae Horbo

17 Agustus 1945 – Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Peristiwa ini menjadi titik awal bagi perjuangan mempertahankan kedaulatan negara dari ancaman penjajah yang ingin kembali berkuasa.

2 Oktober 1945 – Pembentukan Komite Nasional Sumatera Timur

Komite Nasional Sumatera Timur dibentuk untuk menjalankan pemerintahan di wilayah Sumatera Timur setelah Indonesia merdeka. Komite ini berperan dalam menyusun kebijakan serta mempertahankan kemerdekaan di tengah ancaman pasukan Belanda dan sekutunya.

3 Oktober 1945 – Pembentukan Komite Nasional Tapanuli

Komite Nasional Tapanuli didirikan untuk memperkuat pemerintahan di wilayah Tapanuli. Komite ini berfungsi sebagai perwakilan rakyat dalam pemerintahan Republik Indonesia serta memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap penjajah.

Juli 1947 – Pengungsian Rakyat dari Sumatera Timur ke Tapanuli

Pada bulan Juli 1947, banyak rakyat dari Sumatera Timur mengungsi ke Tapanuli akibat agresi militer Belanda. Wilayah Sumatera Timur saat itu menjadi medan pertempuran, sehingga masyarakat mencari perlindungan ke daerah yang lebih aman.

27 Juli 1947 – Tentara Belanda Masuk dari Pantai Cermin

Pada 27 Juli 1947, tentara Belanda mulai melakukan serangan dari Pantai Cermin, Sumatera Utara. Serangan ini merupakan bagian dari Agresi Militer Belanda I, di mana Belanda berusaha merebut kembali wilayah Indonesia yang telah merdeka.

Desember 1948 – Perang Kemerdekaan II

Pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II dengan menyerang berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera. Dalam serangan ini, mereka berhasil menduduki Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu, serta menawan para pemimpin nasional seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir.

Desember 1948 – Pembentukan Sektor Sub. Ter VII Komando Sumatera

Pada bulan yang sama, dibentuk Sektor Sub. Ter VII Komando Sumatera yang dipimpin oleh Liberty Malau. Sektor ini bertujuan untuk mengorganisir perlawanan rakyat serta mempertahankan wilayah Sumatera dari serangan Belanda.

1948 – Taktik Bumi Hangus di Tapanuli Utara

Sebagai strategi perang gerilya, pejuang Indonesia menerapkan taktik bumi hangus di Tapanuli Utara. Taktik ini dilakukan dengan membakar atau merusak infrastruktur penting agar tidak bisa dimanfaatkan oleh tentara Belanda saat mereka menduduki wilayah tersebut.

27 Desember 1949 – Pemulihan Kedaulatan Republik Indonesia

Pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Dengan demikian, Indonesia secara resmi diakui sebagai negara yang berdaulat penuh.

Sejarah yang terukir di Monumen Sitolu Hae Horbo menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera Utara, dalam mempertahankan kemerdekaan dari penjajah. Keberadaan monumen ini tidak hanya menjadi pengingat akan perjuangan masa lalu, tetapi juga menjadi daya tarik bagi masyarakat yang ingin memahami lebih dalam tentang sejarah bangsa.

Praktisi Hukum Jamin Naibaho menyatakan pembangunan taman Sitolu Hae Horbo ini sangat baik. Untuk mengingat budaya dan sejarah perjuangan kemerdekaan RI di tanah batak.

Semoga pemerintah samosir terus menjaga Monumen ini serta memperkenalka kepada generasi muda penerus bangsa jangan sampai melupakan sejarah, jelasnya.

Seiring dengan waktu taman ini telah ditata rapi dan para pengusaha rumah makan mulai ramai berjejer sambil berteduh kita boleh belajar sejarah dimasa lalu.

Di sebelah timur laut Taman Sitolu Hae Horbo, berdiri sebuah rumah makan sederhana yang menyajikan hidangan khas masakan nasional.

Menurut penuturan pemilik rumah makan, Juan Simarmata hidangan yang disajikan sesuai dengan pesanan pelanggan. Tersedia makanan siap saji maupun pesanan khusus. Disiapkan langsung setelah dipesan. Selain itu, rumah makan ini juga menyediakan fasilitas penginapan bagi wisatawan.

“Kami siap memfasilitasi wisatawan yang datang, baik dalam bentuk homestay maupun hotel. Kami berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan,” jelas pemilik rumah makan. ( Hots )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *