Penting dicermati fenomena Paslon lawan kotak kosong di Pemilukada Serentak 9 Desember 2020. Terdapat di 25 dari 270 Kabupaten/Kota. Terbanyak di Jawa Tengah! Sudah kroniskah penyakit demokrasi kita?

Catatan: Husor Parissan Sitompul
Pilkada/Nasional, PRESTASIREFORMASI.Com – Mengamati dan menilai sosok Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang baru usai menggelar Pemilukada pada 9 Desember 2020, dapat disebut pelaksanaan pesta demokrasi kali ini paling buruk dari empat hajatan pemilihan kepala daerah secara langsung yang sudah pernah diadakan.
Mengapa? Setidaknya ada tiga alasan pokok yang dapat dijadikan indikasi Pemilukada 2020 yang paling jelek:
- Pemilukada dipaksakan diselenggarakan pada masa Pandemi Covid-19 (seharusnya bisa ditangguhkan, atau usai masyarakat divaksinasi atau hingga pandemi virus corona reda)
- Persentase minat masyarakat untuk mencoblos diperkirakan rendah
- Paslon tunggal yang mencapai 25 daerah (9,25%) dari 270 kabupaten/kota
Namun yang menjadi sorotan utama dalam tulisan ini adalah fenomena paslon melawan kotak kosong, karena persentase grafiknya meningkat dari Pilkada pertama hingga Pilkada keempat ini. Bukankah ini dapat disebut sebagai kegagalan KPU sebagai penyelenggara Pemilu?
Artinya, seandainya KPU tidak mampu menggelar Pemilukada lebih dari satu kandidat, minimal menekan jumlah persentase Paslon melawan Kotak Kosong ke tingkat paling minim, misalnya 2,5 persen bukan seperti Pemilukada 9 Desember 2020 kali ini yang mencapai 9,25 %.
Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. alumnus Madrasah Tasywiqu th-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang yang menulis di Jatengdaily.com, menyebut ada sebanyak 270 pemilihan kepala daerah yang terdiri dari 9 pemilihan gubernur (pilgub), 224 pilbup, dan 37 pilwakot.
“Ironisnya, dari 270 daerah, ada 25 daerah (9,25%) yang lawannya adalah kotak kosong. Seandainya, 25 daerah itu masing-masing membutuhkan biaya Rp 50 miliar,- sampai dengan Rp 71,5 milyar,- atau dibuat rata-rata Rp 50 miliar, maka 25xRp 50 miliar,- = Rp 1.250 miliar,- atau Rp 1 Trilyun dan Rp 250 miliar,” ujarnya.
Menurut Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA, sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi melalui tulisan baik di media cetak maupun online, apakah tidak bisa UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, terutama berkaitan dengan calon tunggal, supaya bisa ditetapkan secara langsung tanpa pemilihan.
“Terlalu banyak alasan dan argumentasi bisa diajukan. Mulai dari alasan pertama, penghematan uang rakyat, kedua, untuk pengentasan kemiskinan, ketiga, menghindari makin maraknya kasus korupsi, keempat, rasionalitas dan menghargai martabat manusia, karena tidak diperhadapkan dengan lawan kotak kosong,” lanjutnya.
Dia menegaskan, tentu ini bisa disepakati, jika ada niat baik untuk lebih mementingkan kemashlahatan umum dan rakyat, dibanding hanya sekedar memenuhi demokrasi “kotak kosong”.
Tentu saja pendapat tersebut sulit dibantah, sebab sejak digelarnya Pemilukada secara langsung, dihitung-hitung lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya bagi masyarakat luas.
Dampak yang terlihat dan terasa langsung adalah munculnya disharmoni dan keretakan hubungan sosial di tengah-tengah masyarakat, dan paling parah adalah maraknya politik uang dan politik transaksional.
Diduga, ada para kandidat dan timnya tanpa rasa malu dan merasa berdosa ‘menyuap’ masyarakat dengan uang maupun sembako sehingga memilihnya.
Politik uang itu sudah berlangsung sejak Pemilukada pertama, bahkan diperkirakan semakin parah pada pagelaran keempat kali ini diadakan. Transaksi dalam memenangkan, seakan menjadi lumrah. Sehingga masyarakat pun sudah tak lagi malu-malu menyebut “berapa berani bayar?”
Pada tingkat elit politik, transaksional ini menjadi lebih brutal karena Partai Politik tak lagi menomorsatukan moralitas seperti mengedepankan kader-kadernya untuk maju jadi calon gubernur/bupati/walikota. Parpol lebih nyaman jika mendukung seseorang yang lebih mapan dalam finansial dan dominasi politik dibanding sosok berpengalaman dan profesional.
Mungkin inilah juga faktor penyebab munculnya paslon tunggal melawan kotak kosong. Ironisnya demokrai mandul ini justeru didukung UU Pemilukada yang nota bene draft dan rancangannya lebih mempertimbangkan faktor kepentingan Parpol, bukan demi kemaslahatan masyarakat luas.
Bersaing dengan Kota Kosong Memalukan
Tertarik dengan tulisan M.Fedro Syafiola (Mahasiswa Sosiologi Unand) di Sitinjausumbar.com, mengungkapkan munculnya calon tunggal dapat menjadi indikator tidak maksimalnya peranan para politik dalam melakukan proses pengkaderan di lingkup internal partai.
Dia menyebut, sebagai penggerak sistem demokrasi di Indonesia partai politik diharapkan dapat memunculkan calon yang berkualitas di tingkat lokal maupun nasional. Untuk itu pengkaderan dari partai sangat diharapkan dapat menampung aspirasi dari masyarakat serta menjaring figur-figur calon pemimpin sehingga proses demokrasi dapat tercipta dengan baik.
“Fenomena munculnya calon tunggal (kotak kosong) dalam pilkada pada tahun 2020 menjadi anomali dalam proses pemilu. Merujuk dinamika politik yang terjadi, setidaknya pemilihan kepala daerah di 34 daerah berpotensi besar diikuti calon tunggal,” ujarnya.
Dia mengatakan, lembaga pemantau pemilu menyebut tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat setiap tahun. Muncul kekhawatiran, demokratisasi yang diharapkan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bakal semakin terkikis politik pragmatis. Namun partai politik berdalih bahwa kesepakatan mengusung calon tunggal merupakan konsekuensi sistem pemilihan yang disepakati pemerintah dan DPR di tingkat pusat.
Bersaing dengan kotak kosong untuk memperebutkan legitimasi dalam pilkada sebenarnya memalukan, katanya, bukan justru membanggakan, karena ada cara pandang mainstream bahwa melawan kotak kosong bermakna dominasi satu kandidat, baik popularitas maupun elektabilitas.
Dominasi semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah “kehebatan”. Bagaimana tidak, nyaris tak ada yang berani menantang lantaran superdominasi tersebut.
Menurut M.Fedro Syafiola, dalam kacamata sang kandidat, melawan kotak kosong adalah sebuah indikasi ketangguhan yang berlebihan, sampai tak ada yang bernyali untuk bersaing dalam kontestasi. Padahal, pilkada adalah satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa didesain agar semua pihak berkesempatan untuk ikut bertanding.
Pasangan calon tunggal ini diusung oleh partai-partai baik yang berbasis nasionalis maupun agamis. Munculnya pasangan calon tunggal ini mengindikasikan bahwa peran partai politik di Indonesia kurang begitu maximal, serta kurang memiliki daya tarik bagi masyarakat.
“Selain itu, dengan adanya pasangan calon tunggal juga dapat berpengaruh pada minat masyarakat dalam ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Hal ini dipicu karena minimnya opsi atau pilihan yang ditawarkan oleh partai politik dan pemerintah dalam pilkada tahun 2020,” kata Fedro.
Yang menjadi pertanyaan bagaimana kotak kosong yang memenangkan pemilu? Jawabannya dalam perspektif demokrasi, kemenangan kotak kosong justru ada positifnya karena dapat menjadi alarm kuat bagi aktor politik untuk jangan coba-coba meraih kekuasaan dengan jalan instan dan “pengkondisian”.
Pasalnya, kemunculan kotak kosong atau calon tunggal biasanya selalu didasarkan tiga kondisi. Pertama, adanya pihak-pihak yang sengaja mendesain munculnya calon tunggal.
Dalam studi yang dilakukan Dur dan Bievre (2007), pihak-pihak yang maksud adalah kelompok berkepentingan. Tujuannya bisa untuk melanggengkan bisnis, dinasti politik, mempertahankan dominasi pengaruh, pemburuan rente ataupun lainnya.
Kedua gagalnya kaderisasi parpol. Parpol kehabisan stok kader yang secara kalkulasi politik mampu bersaing dalam lapangan hijau pilkada. Pasalnya, dalam konteks demokrasi electoral hari ini, salah satu variabel penting dalam mengusung kandidat adalah soal kans menang (elektabilitas menjanjikan).
Ini sesuai pandangan Strom (1990) bahwa logika partai dalam pemilu selalu ditujukan untuk memperoleh kemenangan. Ketiga, karena politik berbiaya mahal. Ongkos demokrasi electoral yang begitu mahal membuat sejumlah tokoh urung sebelum bertarung.
Secara teoritis, hadirnya calon tunggal dalam kontestasi electoral tak ubahnya sebagai bentuk pseudo demokrasi. Hal itu didasarkan beberapa sebab.
Pertama, calon tunggal telah menghilangkan kompetisi dalam demokrasi. Padahal, menunjuk pendapat Robert Dahl (1994), salah satu dimensi penting dalam demokrasi meniscayakan adanya sebuah kompetisi. Tanpa adanya kompetisi, hajatan demokrasi hanyalah opera sabun yang pekat aroma kepentingan.
Kedua, melemahnya oposisi. Ini terjadi karena semua partai mendukung satu calon sehingga kepala daerah terpilih cenderung menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya kontrol. Eksesnya, konstruksi pemerintahan daerah yang demokratis dan transparan akan terhapus karena desain kelembagaan DPRD yang menjalankan fungsi pengawasan (checks and balances) cenderung tak berjalan.
Ketiga, munculnya kepala daerah boneka. Ini berbahaya lantaran kepala daerah terpilih dalam menjalankan pemerintahannya meminjam istilah sosiolog Erving Goffman (1922-1982) lebih banyak memainkan dramaturgi.
Kerja pemerintahan yang terlihat di permukaan berbeda dengan kerja yang sebenarnya di belakang layar. Dalam konteks lebih ekstrem, kepala daerah boneka berpotensi menjadi lahan praktik politik yang menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan pihak-pihak tertentu dengan menipu kesadaran publik.
Karena itu, praktik pseudo demokrasi dalam kontestasi elektoral pilkada dapat dikurangi. Hal ini penting mengingat jumlah calon tunggal dari pilkada ke pilkada terus mengalami peningkatan. Tentu dalam politik electoral, merebaknya calon tunggal tidak sehat bagi masa depan demokrasi.
Memahami sebuah sistem demokrasi dan relevansinya dengan pemilihan umum dapat dilihat dari segi lingkup dan intensitas partisipasi masyarakat dalam ikut andil pengambilan kebijakan-kebijakan politik.
Menurut Joseph Schumpeter dan Hungtinton demokrasi disebut Demokrasi Prosedural yaitu demokrasi yang mengandalkan persaingan yang adil dan partisipasi warga negara untuk menentukan wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel.
Gagasan ini relevan dengan demokrasi yang dipahami dinegara Indonesia yang menganut sistem pemilu yang luber (luas, umum, bebas, rahasia).
Sebaiknya pilkada melawan kotak kosong harus ditiadakan atau bisa diganti dengan calon kandidatnya dipilih langsung oleh kemendagri sesuai daerah domisili (putra daerah) dengan regulasi yang telah ditetapkan pusat, karena kalau diadakan pilkada melawan kotak kosong akan menjadi kontra dan membuang-buang dana secara percuma.
Pemerintah (Kemendagri) dan KPU harus menyelesaikan PR utama seperti meminamilisir pasangan calon tunggal dalam pilkada serta meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berpolitik dalam menjalankan negara demokrasi.
Apa dalih KPU menyahuti fenomena kotak kosong ini? Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengungkapkan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota sesungguhnya telah melaksanakan proses perpanjangan pendaftaran di daerah dengan satu pasangan calon.
Namun, hingga batas akhir perpanjangan pendaftaran tidak ada lagi yang melakukan pendaftaran di 25 kabupaten/kota tersebut.
Dewa menambahkan, selain soal pemantau yang dapat masuk TPS, pada daerah dengan satu paslon juga memiliki perbedaan dalam hal tata cara kampanye hingga perlengkapan TPS yang disesuaikan proses pemilihan dengan satu paslon ini.
Berikut daftar 25 kabupaten/kota yang pasangan calonnya melawan kotak kosong:
1. Kabupaten Humbang Hasundutan
- Dosmar Banjarnahor (petahana bupati)-Oloan P Nababan
- Didukung Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, Demokrat
2. Kota Gunungsitoli
- Lakhomizaro Zebua-Sowa’a Laoli (petahana wali kota-wakil wali kota)
- Didukung PDI-P, Demokrat, Hanura, Gerindra, Golkar, Perindo, PKPI, PAN
3. Kota Pematangsiantar
- Asner Silalahi-Susanti Dewayani
- Didukung Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PAN, Hanura, Demokrat, PKPI
Sumatera Barat
4. Kabupaten Pasaman
- Benny Utama-Sabar AS
- Didukung Golkar, Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, Nasdem, PDI-P.
Sumatera Selatan
5. Kabupaten Ogan Komering Ulu
- Kuryana Azis-Johan Anuar (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PKB, Gerindra, Golkar, PDI-P, Nasdem, PKS, PPP, Hanura, Demokrat, PBB, PKPI
6. Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan
- Popo Ali Martopo-Sholehien Abuasir (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, PAN, Hanura, PKPI.
Bengkulu
7. Kabupaten Bengkulu Utara
- Mian-Arie Septia Adinata (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, PAN, Hanura, PKPI
Jawa Tengah
8. Kabupaten Boyolali
- Mohammad Said Hidayat (petahana wakil bupati)-Wahyu Irawan
- Didukung PDI-P
9. Kabupaten Grobogan
- Sri Sumarni (petahana bupati)-Bambang Pujiyanto
- Didukung PDI-P, PKB, Gerindra, PPP, Hanura, GoLkar, PKS, Demokrat, PAN.
10. Kabupaten Kebumen
- Arif Sugiyanto (petahana wakil bupati) – Ristawati Purwaningsih
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, PAN, Demokrat.
11. Kota Semarang
- Hendrar Prihadi Hendi-Hevearita Gunaryanti Rahayu (petahana wali kota-wakil wali kota)
- Didukung oleh PDI-P, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, Nasdem, PSI, Golkar, PKS
12. Kabupaten Sragen
- Kusdinar Untung Yuni Sukowati (petahana bupati)-Suroto
- Didukung PDI-P, PKB, Golkar, PAN, Nasdem.
13. Kabupaten Wonosobo
- Afif Nurhidayat-Muhammad Albar
- Didukung PDI-P, PKB, Golkar, Demokrat, Nasdem, PAN, Hanura
Jawa Timur
14. Kabupaten Kediri
- Hanindhito Himawan Pramana-Dewi Mariya Ulfa P
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PKS, PPP, PAN, Demokrat
15. Kabupaten Ngawi
- Ony Anwar Harsono (petahana wakil bupati)-Dwi Rianto Jatmiko
- Didukung PDI-P, Golkar, PKB, Gerindra, PKS, PAN, Nasdem, Demokrat, Hanura dan PPP
Bali
16. Kabupaten Badung
- I Nyoman Giri Prasta-I Ketut Suiasa (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PDI-P, Golkar, Demokrat
Nusa Tenggara Barat
17. Kabupaten Sumbawa Barat
- W Musyafirin-Fud Syaifuddin (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, PKS, PAN, PKPI.
Kalimantan Timur
18. Kota Balikpapan
- Rahmad Mas’ud (petahana wakil wali kota) – Thohari Aziz
- Didukung Golkar, PDI-P, PKS, Gerindra, Demokrat, PKB, Perindo, PPP
19. Kabupaten Kutai Kartanegara
- Edi Damansyah (petahana bupati) – Rendi Solihin
- Didukung Golkar, PDI-P, Gerindra, PAN, PKS, Nasdem, PPP, Perindo, Hanura.
Sulawesi Selatan
20. Kabupaten Gowa
- Adnan Purichta Ichsan-Abdul Rauf Malaganni (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PKB, PDI-P,Golkar, Nasdem, PKS Perindo, PPP, PAN, Demokrat
21. Kabupaten Soppeng
- A Kaswadi Razak (petahana bupati) – Luthfi Halide
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PPP, Demokrat
Sulawesi Barat
22. Kabupaten Mamuju Tengah
- M Aras T-H Muha Amin Jasa (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PKB, Gerindra, PDI-P, Golkar, Nasdem, PKS, Perindo, PAN, Hanura Demokrat.
Papua Barat
23. Kabupaten Manokwari Selatan
- Markus Waran-Wempie Welly Rengkung (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PDI-P, Golkar, Nasdem, Perindo, Hanura, PKPI
24. Kabupaten Pegunungan Arfak
- Yosias Saroy-Marinus Mandacan (petahana bupati-wakil bupati)
- Didukung PDI-P, PKB, Golkar, Nasdem, PKS Perindo, PPP, PAN, Hanura, PKPI
25. Kabupaten Raja Ampat
- Abdul Faris Umlati (petahana bupati)-Orideko I Burdam.
- Didukung Gerindra, Golkar, Nasdem, PKS, PAN Demokrat.
Total daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Berikut ini adalah daftar daerah yang melaksanakan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada tahun 2020.
A. Provinsi
Sumatera Barat
Jambi
Bengkulu
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Utara
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
B. Kota
Medan
Binjai
Sibolga
Tanjung Balai
Gunung Sitoli
Pematangsiantar
Solok
Bukittinggi
Dumai
Sungai Penuh
Metro
Bandar Lampung
Batam
Depok
Pekalongan
Semarang
Magelang
Surakarta
Blitar
Surabaya
Pasuruan
Cilegon
Tangerang Selatan
Denpasar
Mataram
Banjarbaru
Banjarmasin
Samarinda
Balikpapan
Bontang
Bitung
Manado
Tomohon
Palu
Makassar (Pilkada Ulang Tahun 2018)
Ternate
Tidore Kepulauan
C. Kabupaten
Tapanuli Selatan
Serdang Bedagai
Toba Samosir
Labuhan Batu
Pakpak Bharat
Humbang Hasundutan
Asahan
Mandailing Natal
Samosir
Karo
Nias
Nias Selatan
Simalungun
Labuhanbatu Selatan
Labuhanbatu Utara
Nias Utara
Nias Barat
Solok
Agam
Pasaman
Lima Puluh Kota
Dharmasraya
Solok Selatan
Padang Pariaman
Sijunjung
Tanah Datar
Pesisir Selatan
Indragiri Hulu
Bengkalis
Kuatan Singingi
Siak
Rokan Hilir
Rokan Hulu
Pelalawan
Kepulauan Meranti
Tanjung Jabung Barat
Batanghari
Bungo
Tanjung Jabung Timur
Ogan Komering Hulu
OKU Selatan
Ogan Ilir
OKU Timur
Musi Rawas
Penukal Abab Lematang Ilir
Musirawas Utara
Seluma
Kaur
Rejang Lebong
Kepahiang
Lebong
Mukomuko
Bengkulu Selatan
Bengkulu Utara
Lampung Selatan
Way Kanan
Lampung Timur
Lampung Tengah
Pesawaran
Pesisir Barat
Bangka Tengah
Belitung Timur
Bangka Barat
Bangka Selatan
Lingga
Bintan
Karimun
Natuna
Kepulauan Anambas
Sukabumi
Kab Bandung
Indramayu
Cianjur
Tasikmalaya
Karawang
Pangandaran
Kab Pekalongan
Kab Semarang
Kebumen
Rembang
Purbalingga
Blora
Kendal
Sukoharjo
Wonosobo
Wonogiri
Purworejo
Sragen
Klaten
Pemalang
Grobogan
Demak
Sleman
Gunung Kidul
Bantul
Ngawi
Jember
Lamongan
Ponorogo
Kab Blitar
Situbondo
Kediri
Sumenep
Gresik
Kab Malang
Mojokerto
Pacitan
Trenggalek
Sidoarjo
Tuban
Banyuwangi
Kab Serang
Kab Pandeglang
Karang Asem
Badung
Tabanan
Bangli
Jembrana
Bima
Lombok Tengah
Dompu
Sumbawa Barat
Sumbawa
Lombok Utara
Sumba Barat
Manggarai Barat
Sumba Timur
Manggarai
Ngada
Belu
Timor Tengah Utara
Sabu Raijua
Malaka
Kapuas Hulu
Ketapang
Sekadau
Bengkayang
Melawi
Sintang
Sambas
Kotawaringin Timur
Banjar
Tanah Bumbu
Kab Kotabaru
Balangan
Hulu Sungai Tengah
Kutai Kartanegara
Paser
Berau
Kutai Timur
Kutai Barat
Mahakam Ulu
Bulungan
Nunukan
Malinau
Tana Tidung
Minahasa Utara
Minahasa Selatan
Bolmong Timur
Bolmong Selatan
Poso
Toli-Toli
Tojo Una-Una
Banggai
Sigi
Banggai Laut
Morowali Utara
Pangkajene Kepulauan
Barru
Gowa
Maros
Soppeng
Luwu Timur
Luwu Utara
Bulukumba
Tana Toraja
Kepulauan Selayar
Toraja Utara
Konawe Selatan
Muna
Wakatobi
Buton Utara
Konawe Utara
Konawe Kepulauan
Kolaka Timur
Bone Bolango
Gorontalo
Pohuwato
Mamuju
Majene
Mamuju Utara
Mamuju Tengah
Seram Bagian Timur
Kepulauan Aru
Maluku Barat Daya
Buru Selatan
Halmahera Utara
Halmahera Selatan
Halmahera Timur
Halmahera Barat
Kepulauan Sula
Pulau Taliabu
Boven Digoel
Merauke
Pegunungan Bintang
Asmat
Nabire
Warofen
Yahukimo
Keerom
Supiori
Membramo Raya
Yalimo
Manokwari
Fakfak
Sorong Selatan
Raja Ampat
Kaimana
Teluk Bintuni
Teluk Wondama
Pegunungan Arfak
Manokwari Selatan. (h/dari berbagai sumber)