Laporan Khusus oleh: Hotman Siagian

Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com

Suara rintih hutan terdengar lirih dari pelosok daerah. Di beberapa kabupaten dan kota yang masih memiliki sisa hutan alam, kondisi vegetasi kian memprihatinkan. Sejumlah kawasan yang dulunya hijau kini tampak gersang, sebagian terbakar, sebagian gundul tanpa bekas kehidupan.

Di tengah kesunyian pepohonan pinus yang berdiri kurus, terlihat batang-batang pohon yang terkoaki. Beberapa lahan menampakkan tanah kering dan retak, tak lagi mampu menahan air hujan. Sungai yang dahulu jernih kini berwarna kecokelatan, sementara suara burung dan serangga yang dulu ramai, perlahan menghilang.

Bagi warga di sekitar hutan, kondisi ini bukan sekadar pemandangan menyedihkan, tetapi juga ancaman nyata bagi kehidupan. “Menangis rasanya melihat hutan seperti ini. Dulu kami bermain di bawah rindangnya pepohonan, sekarang yang tersisa hanya abu dan tanah kering,” ujar seorang warga di Kecamatan Harian kab samosir yang ditemui wartawan, minggu 2/11.

Keluhan serupa datang dari sejumlah jurnalis dan pegiat lingkungan di daerah. Mereka menilai perlindungan hutan perlu diperkuat dengan melibatkan pemerintah kabupaten dan kota. Selama ini, kewenangan pengelolaan hutan banyak terpusat di tingkat nasional dan provinsi, sementara pemerintah daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat memiliki ruang gerak yang terbatas.

“Daerah sebenarnya siap. Kami punya perangkat, punya masyarakat yang peduli, dan semangat gotong royong belum padam. Kami hanya butuh kepercayaan dan dukungan kebijakan agar bisa turut menjaga hutan di wilayah kami,” ujar Hotman Siagian, jurnalis daerah yang aktif menyuarakan isu lingkungan.

Menurutnya, pelibatan pemerintah daerah dalam pengawasan dan pemulihan hutan merupakan langkah strategis yang selaras dengan semangat desentralisasi. Reboisasi dan rehabilitasi lahan dianggap akan lebih efektif bila dilakukan oleh pihak yang memahami karakter wilayah dan sosial budaya masyarakat setempat.

“Kami ingin reboisasi yang nyata, bukan sekadar seremoni. Kami ingin pemulihan, bukan janji,” tegas Hotman.

Selain aspek ekologis, kerusakan hutan juga berdampak pada sosial-ekonomi warga. Sumber air mulai menipis, hasil kebun menurun, dan potensi wisata alam berkurang. Hutan yang seharusnya menjadi rumah kehidupan kini berubah menjadi lahan yang sepi dan rapuh.

Hutan, bagi masyarakat daerah, bukan hanya kumpulan batang kayu. Ia adalah napas bumi, tempat air bersumber, dan ruang hidup yang menopang harapan. Karena itu, seruan untuk melibatkan daerah dalam menjaga kelestarian lingkungan bukan sekadar tuntutan administratif, tetapi juga panggilan moral.

“Kalau hari ini kita biarkan hutan terbakar dan gundul, di masa depan yang hilang bukan hanya pohon, tapi juga sejarah dan identitas bangsa,” kata Hotman menutup percakapan.

Suara dari hutan yang menangis itu kini bergema dari banyak penjuru negeri — memanggil nurani kita semua, agar tak terlambat mendengarnya. 🌲

📰 Catatan Redaksi:

Tulisan ini merupakan karya jurnalistik yang memotret aspirasi masyarakat daerah terhadap pelestarian lingkungan.
Isi tulisan tidak bermaksud menuding pihak tertentu, melainkan mengajak semua pihak — pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat — untuk bersama-sama menjaga hutan Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *