Oleh: Wartawan Hotman siagian.
Foto: Dok. Lapangan

Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com
Dugaan lemahnya pengawasan dalam pengelolaan kawasan hutan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) kembali mengemuka. KTH Gerbang Berkumis, salah satu kelompok pengelola lahan hutan di Kabupaten Samosir, menjadi sorotan usai dialog terbuka antara aktivis lingkungan Boris Situmorang dan ketua kelompok, Asbon Limbong.

Tak hanya mempertanyakan keaktifan anggota, Boris juga mengkritik praktik penderesan pinus yang tetap berlangsung meski kegiatan penanaman tumpang sari justru dihentikan. Ia menegaskan, izin kelola hutan yang diberikan pemerintah melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm) tidak boleh hanya dijadikan alat untuk mengambil hasil hutan semata.

> “Harusnya ini menjadi motor untuk memulihkan dan menjaga ekosistem. Bukan hanya soal getah pinus, tapi juga menjaga fungsi hutan, menanam kembali, dan memastikan keberlanjutan,” kata Boris.

Peran KPH XIII Dolok Sanggul Mulai Dipertanyakan

Kelompok Tani Gerbang Berkumis mengelola area yang sebelumnya mendapat izin dari Unit KPH Dolok Sanggul. Namun, menurut Asbon Limbong, sejak mengetahui izin HKm akan berakhir pada Agustus 2025, kelompok kini tengah menunggu proses pengajuan ulang. Hingga saat ini, belum ada kejelasan apakah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan kembali menerbitkan izin baru atau tidak.

“Menurut informasi diperoleh kelompok tidak akan ada lagi penerbitan izin baru untuk KTH dari KPH. Kami hanya menunggu proses pengusulan melalui Hari Tua Siregar dan Untuk sekarang, semua kegiatan konservasi dihentikan dulu,” kata Asbon.

Namun ironisnya, di tengah berakhirnya izin, kegiatan penderesan getah pinus terus berjalan. Hasilnya langsung dijual ke pengepul di Pangururan. Sekali kirim mencapai 400 kilogram, meski kelompok belum memiliki tempat penampungan layak atau modal pengembangan usaha. Asbon juga mengakui bahwa beberapa tenaga kerja penderesan berasal dari luar kelompok.

Bukan Hanya Ambil, Tapi Rawat

Boris menyebut kondisi ini sebagai bentuk ketimpangan antara eksploitasi dan restorasi. Dalam sejumlah peraturan, termasuk PermenLHK No. P.83/2016 dan PermenLHK No. P.9/2015, kelompok pengelola HKm diwajibkan tidak hanya memanfaatkan hasil hutan, tetapi juga menjalankan fungsi pelestarian, penanaman tanaman tumpangsari, hingga perlindungan kawasan dari kebakaran.

> “Kalau hutan hanya dideres tanpa dijaga, tanpa ditanami, dan izinnya kabur, itu bisa masuk ke pelanggaran administrasi. Bahkan bisa dipidana jika masuk kawasan konservasi atau hutan lindung,” kata Boris.

Hal lain yang disorot adalah dugaan klaim lahan. Menanggapi pertanyaan Boris mengenai lahan di bawah jalan negara dekat Patung Kuda, Asbon menegaskan bahwa lahan tersebut bukan bagian dari wilayah kelompok. “Kami hanya bekerja di atas jalan. Lokasi yang dekat patung kuda bukan milik kelompok,” ujarnya.

Kegagalan Penanaman & Masalah Kebakaran

KTH Gerbang Berkumis diketahui pernah melakukan penanaman tumpang sari sekitar tiga tahun lalu. Namun kegiatan itu gagal karena munculnya gulma dan kebakaran hutan. “Setelah kami tanam, muncul rumput-rumput baru dan akhirnya terbakar. Dari situ semangat anggota pun melemah,” jelas Asbon.

Terkait insiden kebakaran hutan yang terjadi di sekitar lokasi kelompok, Asbon mengklaim telah ikut terlibat bersama Dinas Kehutanan dalam merespons kejadian tersebut. Namun hingga kini belum ada laporan resmi mengenai keterlibatan aktif anggota kelompok dalam pemadaman atau pemulihan pascakebakaran.

Perlu Pembaruan Skema dan Pengawasan

Dalam konteks nasional, skema HKm merupakan bagian dari agenda Perhutanan Sosial yang menjadi prioritas pemerintah sejak tahun 2016. Targetnya adalah memberikan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari, mengurangi konflik tenurial, serta meningkatkan kesejahteraan petani hutan.

Namun pelaksanaan di lapangan masih menghadapi tantangan serius, mulai dari tumpang tindih lahan, lemahnya kelembagaan kelompok, hingga minimnya pendampingan teknis. Kasus seperti yang terjadi di Samosir menjadi cerminan bahwa tanpa pengawasan ketat, izin bisa disalahgunakan atau tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

> “Jika tidak ada komitmen dari kelompok maupun pemerintah dalam mendampingi, maka perhutanan sosial akan kehilangan arah. Perlu pemutakhiran data, evaluasi izin, dan ketegasan dalam penegakan hukum,” kata Boris.

Catatan Redaksi
Pemerintah pusat maupun daerah perlu segera merespons kondisi kelompok-kelompok seperti KTH Gerbang Berkumis. Kejelasan status izin, pembinaan kelembagaan, serta pengawasan terhadap kegiatan yang bersifat eksploitatif harus menjadi prioritas dalam mewujudkan prinsip keadilan ekologis dan sosial dalam pengelolaan hutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *