(Catatan : Zuardi Simanullang)

Keheningan malam di desa Ujung Batu Kecamatan Barus Tapanuli Tengah , desa ini adalah tempat aku dibesarkan, pecah oleh suara gemuruh air bah. Dalam sekejap, desa yang sebelumnya tenang dan damai itu berubah menjadi medan bencana.
Desa Ujung Batu yang terletak Dilintasan sungai Sirahar tempatku bermain,mandi berenang bersama teman-teman kecilku Kini sudah luluh lantak dan porak -poranda dihantam Sungai Sirahar, bongkahan pasir menutupi potret desa itu.
Banjir bandang luapan air bah dari sungai Sirahar telah menghancurkan segala yang ada di jalurnya, meninggalkan puing-puing dan trauma mendalam bagi sanak keluarga.
Tragedi mengerikan ini terjadi dipenghujung November 2025 (25/11), setelah hujan lebat mengguyur selama berjam-jam tanpa henti. Debit air sungai Sirahar yang melintasi,mengalir dipinggir desa naik drastis, meluap, dan menerjang apa saja, pemukiman, menembus badan jalan disepanjang desa.
Warga dengan kekuatan yang tidak terbayangkan bertarung dengan ganasnya arus air, mulai dari anak -anak hingga orang tua semuanya lari mencari dan mencari tempat yang aman untuk berlindung menyelamatkan diri.
“Air datang begitu cepat, hanya dalam hitungan menit sudah setinggi dada orang dewasa, “penduduknya hanya bisa menyelamatkan diri dengan pakaian di badan. Semua harta benda, ternak, hasil panen, habis tak bersisa turut hanyut bersama derasnya arus air.

Banyak korban banjir Sungai Sirahar harus menghadapi kenyataan pahit di mana rumah impian mereka atau seluruh desa “porak-poranda” disapu oleh arus air yang deras.
ratap pilu para korban banjir dan warga lainnya yang rumahnya tertimbun pasir sungai hanya bisa menangis melihat harta benda mereka hanyut dalam sekejap, .
Saat ini, warga yang selamat mengungsi dengan kondisi memprihatinkan. Mereka sangat membutuhkan bantuan mendesak, terutama makanan siap saji, air bersih, selimut, dan obat-obatan.
Fokus utama saat ini adalah memastikan semua korban tragedi yang menyayat hati setiap orang yang melihat potret desa ini butuh mendapatkan tempat yang layak.
Bencana ini menjadi pengingat pahit akan kerentanan desa-desa di daerah aliran sungai terhadap bencana alam. Sambil menunggu bantuan, penduduk desa Ujung Batu kini bersatu, mencoba bangkit dari keterpurukan dan puing-puing mimpi mereka yang hancur dihantam banjir sungai Sirahar.

Kini desa dimana aku dibesarkan suasananya sudah berubah drastis, pasca banjir desa yang sudah kutinggalkan sejak tahun 1984 atau sekitar 26 tahun lalu kembali kutelusuri, kutatap dengan pandangan kosong penuh kesedihan, tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi, warga menyapa, memelukku walaupun sesekali terdengar canda, namun aku yakin tawa dan canda itu, adalah canda penuh harap agar desa ini mendapatkan perhatian agar dapat bangkit berdiri dan berbenah kembali seperti sedia kala.
Waktu terus berjalan, membawa serta puing-puing kenangan yang hancur. Meskipun rasa sakit itu tak kunjung hilang sepenuhnya, perlahan tentulah kita belajar untuk hidup berdampingan dengannya. Bukan melupakan, tapi menerima bahwa dalam setiap kisah hidup, terkadang babak terindah harus diakhiri dengan tangis pilu. Dunia tidak berhenti berputar, dan warga desa Ujung Batu , dengan hati yang terluka, harus terus melangkah ya melangkah kedepan menatap masa depan yang lebih indah.***.-