
Jakarta. PRESTASIREFORMASI.Com
Perkembangan teknologi digital membawa dampak besar bagi pola komunikasi dan penyebaran informasi masyarakat. Namun, di tengah kemajuan tersebut, muncul pula tantangan baru bagi kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers di Indonesia.
Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Prof. Henri Subiakto, menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan konsekuensi logis dari kemajuan teknologi digital yang menghadirkan bentuk-bentuk komunikasi baru. Meski begitu, ia mengingatkan agar undang-undang tersebut tidak disalah gunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis, terutama dari kalangan jurnalis dan media.
Hal itu disampaikan Prof. Henri dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan oleh SMSI Pusat secara daring melalui Zoom Meeting pada Selasa (28/10/2025). Kegiatan ini digelar dalam rangka menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2026.
“Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Prof. Henri saat memaparkan pandangannya.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya itu menjelaskan, regulasi di dunia digital memang diperlukan untuk memberikan kepastian hukum di tengah derasnya arus informasi. Namun, penerapan pasal-pasal dalam UU ITE kerap menimbulkan persoalan ketika menyentuh ranah jurnalistik dan kebebasan pers.
Pers Harus Dihormati Sebagai Pilar Demokrasi
Menurut Prof. Henri, produk jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan dan media profesional memiliki perlindungan hukum tersendiri melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Karena itu, aparat penegak hukum seharusnya membedakan antara konten jurnalistik dengan konten pribadi di media sosial.
“Wartawan bekerja di bawah payung UU Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Tapi sayangnya, masih sering terjadi salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap karya jurnalistik,” ujarnya.
Ia menyoroti fenomena maraknya laporan hukum yang menggunakan UU ITE terhadap jurnalis dan media hanya karena pemberitaannya dianggap tidak menyenangkan pihak tertentu. Menurutnya, situasi ini bisa mengancam kemerdekaan pers sebagai salah satu pilar utama demokrasi.
“Sekarang banyak orang yang kerjanya melapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.
Ledakan Media Baru di Era Digital
Lebih lanjut, Prof. Henri juga membahas pertumbuhan media baru seperti podcast, kanal YouTube, dan portal berita daring yang tumbuh pesat seiring kemajuan teknologi informasi. Fenomena ini, menurutnya, menandai era keterbukaan informasi di mana masyarakat bisa menjadi produsen sekaligus konsumen berita.
“Podcast itu menarik karena mudah diakses dan murah biayanya. Akibatnya, banyak yang lebih independen dari tekanan sponsor atau iklan,” jelasnya.
Namun, Prof. Henri menekankan pentingnya etika jurnalistik dan verifikasi fakta agar media baru tidak terjebak dalam penyebaran informasi yang tidak akurat. Ia menilai, meskipun formatnya berbeda dengan media konvensional, podcast dan media daring tetap memiliki fungsi utama yang sama, yakni menyampaikan informasi kepada publik.
“Podcast dan media daring secara fungsi sama-sama menyampaikan informasi. Tapi banyak di antaranya yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama,” katanya.
Dorongan Revisi UU ITE dan Peran SMSI
Dalam penutup paparannya, Prof. Henri mendorong SMSI agar terus memainkan peran strategis dalam memperjuangkan perbaikan dan penyesuaian UU ITE agar sejalan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tetapi tetap mengedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” ujarnya.
Ia menilai, revisi terhadap UU ITE perlu diarahkan pada kejelasan tafsir, khususnya untuk membedakan mana yang merupakan bentuk kritik konstruktif, opini publik, dan mana yang benar-benar termasuk ujaran kebencian atau pelanggaran hukum.
Menjaga Keseimbangan Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab
Dialog nasional yang diikuti ratusan peserta dari kalangan jurnalis, akademisi, mahasiswa, serta pelaku media siber dari berbagai daerah ini menjadi wadah refleksi penting. Para peserta sepakat bahwa kebebasan berekspresi di dunia digital harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial dan kesadaran hukum.
Dalam konteks itu, Prof. Henri mengingatkan, kebebasan pers tidak boleh diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Etika, integritas, dan profesionalisme tetap menjadi dasar bagi setiap pelaku media dalam menjalankan fungsinya sebagai penyampai informasi publik.
“Kebebasan berekspresi harus tetap berada dalam koridor etika dan kebenaran. Karena tujuan akhir dari kebebasan itu adalah menjaga martabat bangsa dan keadilan sosial,” pungkasnya. ( Hots)
🟢 Catatan Redaksi:
Berita ini disusun berdasarkan pernyataan resmi Prof. Henri Subiakto dalam forum publik “Dialog Nasional: Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan SMSI Pusat. Pandangan dalam berita ini bersifat akademis dan bertujuan untuk memperkaya wacana publik mengenai penerapan hukum dan kebebasan pers di era digital.