Catatan ringan Nahar Frusta.

Perjalanan itu sudah mulai jauh. Jalan berliku, menanjak dan menurun sudah tampak didepan mata. Kemampuan sang supir mulai diuji, yang awal perjalanan masih melalui jalan lurus dan mendatar. Lambaian tangan dari warga masih mengiringi langkah demi langkah, senyum manis bertaburan, menunjukkan rasa bangga dan kebahagiaan yang telah dicapai dengan kemenangan.”Hati hati dijalan”, begitu doanya.
Dulu tahun 70an. Dikampungku ada satu kebanggaan tentang seseorang akan satu profesi.”Supir Jakarta”, mereka menyebutnya. Ada kebanggaan disitu. Punya keahlian dalam melintasi rusaknya jalan, jauhnya jarak, melewati gelapnya malam. Mereka adalah orang pilihan. Mereka adalah supir dan bengkel.
Lewati tikungan Sipittu pittu, yang jurangnya sangat dalam. Tikungan tajam kiri kanan Tarutung Sibolga. Rimbo Panti dan Kelok sembilan Sumatera Barat. Ancaman gerombolan “bandit bandit” di Lahat. Tentunya juga tingginya gelombang ombak penyeberangan Bakahuni Merak.
Banyak pihak beranggapan bahwa “Supir Jskarta” adalah orang yang mengemudikan mobil di kota Jakarta. Seperti supir angkot, kopaja, mayasari dan damri. Berpengalaman bawa mobil dikeramaian, di kemacetan dengan suara lantang berteriak “Grogol…grogol!”.Ternyata bukan. Mereka adalah supir dari Tapanuli menuju Jakarta.
Berjuang dan bisa bertahan hidup dijakarta. Menuntut ilmu dan berjuang agar sukses di kerasnya hidup di ibukota. Meninggalkan kampung halaman dengan sebuah cita-cita menggapai kesuksesan untuk mengabdi kembali ke kampung halaman. Dimulai dari kernet, naik kelas menjadi supir yang tangguh. Ya…supir batangan di Jakarta.
Supir Jakarta ini kini menjadi sebuah cerita tentang perjalanan masa lalu yang masih diceritakan sejalan kemajuan zaman saat ini. Cerita ini semakin menarik ketika begitu mudahnya untuk mencapai Jakarta. Jarak waktu tempuh yang singkat, rendahnya tantangan yang dihadapi dalam perjalanan menuju ibukota negara. Tinggal pilih lewat bandara Piangsori, Silangit atau Kualanamu. Tanpa pendampingan seorang “supir jakarta”. Kemampuan supir jakarta masih tinggal cerita “heroik”.(***)