Saat kampanye, Donald Trump berjanji akan mengenakan pajak atas semua barang yang diimpor ke AS jika dia kembali ke Gedung Putih. Kini, setelah Trump dipastikan menang Pilpres AS, para pebisnis dan ekonom di seluruh dunia berusaha keras memahami seberapa serius kebijakan perdagangan Trump ini.
Trump memandang pengenaan tarif impor sebagai cara untuk menggeliatkan ekonomi AS, melindungi lapangan pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan pajak.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memprediksi jika Donald Trump terpilih kembali menjadi presiden maka nilai mata uang AS dan suku bunga acuan bank sentral AS bakal menguat.
“Mata uang dollar AS itu akan kuat, suku bunga Amerika itu akan tetap tinggi, dan tentu saja perang dagang juga masih berlanjut,” ujar Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (06/11), seperti dikutip dari Kompas.com.
Hal ini, menurut Perry, bakal berdampak ke seluruh negara terutama negara berkembang seperti Indonesia.
Perry bilang, nilai tukar rupiah bakal melemah karena tertekan oleh penguatan dollar AS sehingga arus modal asing juga akan keluar dari Indonesia.
Sebelumnya, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho, memprediksi kebijakan pembatasan produk-produk China yang diterapkan Trump berpotensi “lebih ekstrem dan akan cukup berdampak bagi Indonesia”.
Pajak hingga 20% pada semua barang impor
Di masa lalu, Trump menargetkan tarif pada negara-negara tertentu seperti China, atau untuk industri tertentu, seperti baja.
Namun, janji kampanye Trump yang akan mengenakan pajak sekitar 10% hingga 20% pada semua barang impor diperkirakan akan memengaruhi harga di seluruh dunia.
Bulan lalu, ia tampaknya menyoroti Eropa.
“Uni Eropa kedengarannya sangat bagus, sangat menawan, bukan? Semua negara kecil Eropa yang baik, yang bersatu… Mereka tidak membeli mobil kita. Mereka tidak membeli produk pertanian kita,” katanya.
“Mereka menjual jutaan mobil di Amerika Serikat. Tidak, tidak, tidak, mereka harus membayar harga yang mahal.”
Saham BMW, Mercedes, dan Volkswagen semuanya turun antara 5% dan 7% setelah Trump dipastikan menang. AS merupakan pasar ekspor terbesar bagi produsen mobil Jerman tersebut.
Dalam kampanyenya, Trump mengatakan tarif adalah jawaban untuk berbagai masalah, termasuk menghalau China dan mencegah imigrasi ilegal.
“Tarif adalah kata yang paling indah dalam kamus,” katanya.
Itu adalah senjata yang jelas ingin ia gunakan.
Meskipun sebagian besar retorika dan tindakan ini ditujukan ke China, namun hal itu tidak berakhir di sana.
Beberapa yurisdiksi seperti Uni Eropa saat ini sedang menyusun daftar aksi balasan terhadap AS.
Para menteri Keuangan G7—organisasi internasional yang mencakup tujuh negara terbesar di dunia dengan ekonomi maju yang mendominasi perdagangan dan sistem keuangan global, termasuk AS—berkata bahwa mereka mencoba mengingatkan Amerika yang dipimpin Trump tentang perlunya sekutu dalam ekonomi dunia karena “idenya bukanlah untuk memulai perang dagang”.
Namun, jika “kekuatan yang sangat besar digunakan”, Eropa akan segera mempertimbangkan tanggapannya.
Pada masa lalu, Uni Eropa mengenakan tarif terhadap produk ikonik dari AS, seperti motor Harley Davidson, wiski bourbon dan celana jins Levi’s sebagai respons atas aturan bea masuk AS terhadap baja dan aluminium.
Seorang bankir bank sentral di zona Euro mengatakan kepada saya bahwa tarif AS sendiri “tidak bersifat inflasi di Eropa tetapi tergantung pada bagaimana reaksi Eropa nantinya”.
Bulan lalu IMF menganalisis bahwa perang dagang besar dapat menghantam ekonomi dunia hingga 7%, atau seukuran gabungan ekonomi Prancis dan Jerman.
Selain itu, ada pertanyaan yang sangat besar untuk pemerintah Inggris dalam kemungkinan perang dagang transatlantik ini. Bagaimana Inggris pasca-Brexit harus memposisikan dirinya.
Arah perjalanan Inggris selama ini adalah untuk semakin dekat dengan Uni Eropa, termasuk dalam hal standar pangan dan pertanian. Hal ini akan membuat kesepakatan perdagangan yang erat dengan AS menjadi sangat sulit.
Pemerintahan Biden tidak tertarik dengan kesepakatan semacam itu.
Negosiator perdagangan utama Trump yang masih sangat berpengaruh, Bob Lighthizer, bahkan berasumsi bahwa kedekatan Inggris dengan UE telah menghambat terjadinya kesepakatan ekonomi dengan AS.
“Mereka adalah mitra dagang yang jauh lebih besar bagi Anda daripada kami,” katanya kepada saya dalam sebuah wawancara.
Inggris dapat mencoba untuk tetap netral dan akan berjuang untuk menghindari dampak langsung, terutama untuk perdagangan barang farmasi dan mobil.
Retorika dari pemerintah Inggris mengisyaratkan negara itu dapat mencoba menjadi pembawa perdamaian dalam perang dagang global, tetapi apakah ada yang mendengarkan?
Inggris dapat memilih satu sisi, dengan mencoba dibebaskan dari tarif Trump yang lebih umum.
Para diplomat merasa gembira dengan penasihat ekonomi yang lebih pragmatis bagi presiden terpilih AS itu, yang menyarankan bahwa sekutu yang bersahabat mungkin akan mendapatkan kesepakatan yang lebih baik.
Atau, akankah dunia mendapat manfaat lebih jika Inggris bergabung dengan Uni Eropa untuk mencegah penerapan tarif perdagangan semacam itu?
Di luar AS, bagaimana dampaknya?
Jika ekonomi terbesar dunia melakukan proteksionisme massal, akan sulit membujuk banyak negara ekonomi kecil untuk tidak melakukan hal yang sama.
Semua ini masih bisa ditebak. Peringatan Trump bisa diterima begitu saja. Tidak ada yang pasti, tetapi perang dagang yang sangat serius bisa saja dimulai. (h/Sumber: bbcindonesia)