Peristiwa pembakaran buku karya jurnalis Najwa Shihab dan serangan bom molotov terhadap kantor redaksi Jubi di Papua merupakan ‘bentuk kekerasan simbolis’ terhadap wartawan. Apakah aksi-aksi teror ini dirancang guna menciptakan ketakutan yang berujung pada pembungkaman terhadap media?

Sepekan setelah Presiden Joko Widodo lengser, jagat media sosial diwarnai perbincangan soal konten aksi pembakaran buku “Catatan Najwa” diikuti komentar yang mengandung ujaran kebencian terhadap jurnalis Najwa Shihab.

Analisis Drone Emprit menemukan lebih dari 45 juta interaksi dan keterlibatan di TikTok, yang didominasi “sentimen negatif” terhadap Najwa.

Sementara, Ika Karlina Idris dari Data & Democracy Research Hub di Monash University Indonesia, menggolongkan komentar di TikTok ada di tahap “berbahaya”, merujuk pada analisis yang dilakukan lembaganya.

“Karena memang sudah seksis, [memuat] kebencian terhadap tokoh agama, kebencian agama, dan kelompok-kelompok keturunan Arab,” papar Ika Idris saat dihubungi wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida menyebut aksi pembakaran buku Najwa Shihab sebagai “bentuk kekerasan simbolis”. Meskipun bentuk dan cara kekerasan tersebut beragam, menurutnya, “tapi targetnya sama yaitu jurnalis”.

Serangan lain menarget jurnalis di Papua. Pada 16 Oktober 2024, kantor redaksi Jubi dilempar bom molotov. Ini bukan yang pertama. Sebelumnya, bom rakitan dilempar di dekat rumah jurnalis Jubi, Victor Mambor.

najwa shihab, jurnalis

Sepanjang Januari-Oktober 2024, AJI mendokumentasikan 57 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Sembilan kasus di antaranya terjadi dalam dua bulan terakhir.

Ketua Dewan Pers, Ninik Yuniati, mengatakan lembaganya sedang merampungkan mekanisme perlindungan menyeluruh bagi jurnalis, sehingga tanggung jawab jaminan keamanan dan keselamatan jurnalis bukan hanya menjadi tanggung jawab perusahaan media tapi juga negara.

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengeklaim selama ini telah menjalankan komitmen untuk melindungi jurnalis sesuai undang-undang.

Di balik ramai hujatan ke Najwa Shihab

Perbincangan merespons video berisi aksi pembakaran buku karya jurnalis Najwa Shihab yang ramai di media sosial X atau Twitter bermula dari konten TikTok.

Salah satu video yang ditemukan BBC News Indonesia telah dilihat lebih dari 1,8 juta kali, mendulang lebih dari 52.000 suka dan, dibagikan ulang lebih dari 800 kali di TikTok, per Rabu (30/10).

Pengunggahnya menuliskan keterangan: “Ku tak mau lagi kau tipu. #najwashihab #catatannajwa #jokowi”.

Rizal Nova Mujahid, peneliti Drone Emprit—pemantau percakapan di media sosial—mengungkapkan volume engagement atau audiens yang membicarakan tentang Najwa Shihab mencapai lebih dari 45 juta dan dominasi dengan sentimen negatif.

Najwa Shihab, buku
Tangkapan layar dari video berisi pembakaran buku karya jurnalis Najwa Shihab yang ramai di media sosial X atau Twitter yang bermula dari konten TikTok.

Analisis dilakukan sebatas di media sosial TikTok dengan periode pemantauan 20-30 Oktober 2024, sebanyak 77 unggahan.

“Itu hanya dari FYP saja ya. Kami tidak menghitung yang tidak FYP. Karena bisa ada ratusan, banyak sekali,” terang Rizal saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

FYP yang disebut Rizal adalah singkatan dari “For Your Page” yang berarti halaman rekomendasi atau beranda di aplikasi TikTok. FYP merupakan fitur yang menampilkan video-video yang direkomendasikan oleh TikTok untuk pengguna berdasarkan minat dan preferensi mereka.

Menurutnya, sentimen interaksi negatif sebesar 75%, sentimen positif 18%, dan sisanya netral.

Rizal menerangkan, interaksi di TikTok muncul setelah Najwa melontarkan pernyataan yang menyebut Presiden ke-7 Indonesia Joko Widodo “nebeng pesawat TNI AU” untuk pulang ke Solo pada Minggu, 20 Oktober 2024 lalu.

“Paling awal respons [di TikTok} terjadi pada tanggal 21 [Oktober]. Lalu kemudian naik terus—responsnya negatif ya. Naik terus kritikan pada Najwa hingga mencapai puncaknya pada 24 [Oktober].

“Itu sudah ada lebih dari 10 juta interaksi di media sosial terkait pernyataan Najwa. Interaksinya baik berupa commentlike, share,” papar Rizal.

BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Najwa Shihab mengenai hal ini, tapi dia enggan berkomentar.

Melacak ‘sentimen negatif’ yang menyasar Najwa Shihab

pers, najwa shihab, victor mambo
Seniman Wanggi Hoed mementaskan seni pantomim hari kebebasan pers sedunia atau World Press Freedom Day saat penyelenggaraan Anugerah Pewarta Foto Indonesia (APFI) 2024 di Bandung Creative Hub, Bandung, Jawa Barat, Jumat (03/05).

Dalam potongan video yang beredar di media sosial, Najwa Shihab mengatakan, “Enggak jadi [pakai pesawat] komersil, sekarang nebeng TNI AU”.

Komentar itu diucapkan Najwa saat melakukan siaran langsung pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 pada pekan lalu.

Menurut Rizal, pola perbincangan yang tertangkap di TikTok cenderung organik atau terjadi natural.

“Kalau dilihat dari pengunggahnya, kita batasi 10 pengunggah terbesar, itu memang diunggah akun-akun yang—selain milik Najwa sendiri—adalah akun-akun yang pro-Jokowi,” kata dia.

Najwa Shihab

Masing-masing konten memiliki narasi yang berbeda dengan waktu unggahan yang berbeda pula.

Unggahan-unggahan bernada negatif itu kemudian diamplifikasi oleh pendukung Jokowi lainnya, menurut Rizal.

“Ternyata banyak yang berkomentar negatif, ditangkap, lalu disampaikan ulang, ya diperbesarlah narasinya.”

Rizal memaparkan, narasi unggahan memiliki kecenderungan bernada “bullying” dan didominasi komentar yang “berbicara tentang adat, tidak sopan pada presiden, tidak sopan pada orang yang berjasa, lalu kemudian pesan itu diperkuat para influencer TikTok”.

Najwa Shihab, pers, Victor Mambo, Jubi
Keterangan gambar,Najwa Shihab (2018)

Co-director Data & Democracy Research Hub di Monash University Indonesia, Ika Karlina Idris, menyebut komentar yang ditujukan kepada Najwa Shihab “berbahaya” lantaran mengandung ujaran kebencian, isu identitas SARA hingga bernada seksis.

“Kalau di TikTok itu penuh dengan video yang mengandung toxicity dan pesan-pesan yang mempolarisasi atau memecah belah. Toxicity ini dalam artian mengandung hate speech sudah ke mana-mana.

“Jadi udah ke jilbab, ke [soal] keturunan Yaman, bahkan menyerang Nana [Najwa Shihab] sendiri, misalnya kayak ratu check-in, atau menuduh dia sebagai prostitusi,” kata Ika Idris kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Najwa Shihab mengenai hal ini, tapi dia enggan berkomentar.

Najwa Shihab, pers, teror

Pola serupa, ungkap Ika, juga dia temukan saat menganalisis media sosial terkait isu Rohingya, #Peringatan Darurat dan 10 tahun pemerintahan Jokowi.

Para penebar ujaran kebencian tersebut didominasi akun-akun pendukung pemerintahan baik di era Jokowi ataupun Prabowo Subianto, menurut Ika Idris.

“Itu memang kecenderungannya konten para kreatornya itu siding to government. Bukan cuma siding, malah-malah attacking pengkritik pemerintah,” ungkap Ika Idris.

Bendahara Umum relawan Pro-Jokowi (Projo), Panel Barus mengaku tidak bisa banyak menanggapi.

“Saya juga enggak tahu masalahnya apa itu sebenarnya,” tutur Panel Barus saat dikonfirmasi pada Rabu (30/10) malam.

Nani Afrida, AJI, pers, najwa Shihab, victor mambo
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida (foto atas) menyebut apa yang dialami Najwa Shihab, yakni aksi pembakaran buku “Catatan Najwa”, “adalah bentuk kekerasan simbolis”.

Sementara Sekretaris Jenderal Relawan Projo, Handoko, tidak mau mengomentari temuan tersebut.

No comment ya,” tulis Handoko melalui pesan kepada BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital, Prabu Revolusi, juga tidak merespons pesan maupun panggilan wartawan BBC News Indonesia.

Pers, najwa shihab, victor mambo, jurnalis
Keterangan gambar,Foto ilustrasi.

Di jagat Twitter, topik tentang Najwa Shihab ini diperbincangkan hampir 60.000 kali oleh 32.000 akun Twitter dan Media online, menurut analisis Data & Democracy Research Hub di Monash University Indonesia.

Berbeda dengan TikTok, mayoritas percakapan di Twitter berisi dukungan terhadap Najwa Shihab.

Beberapa di antaranya menunjukkan rasa khawatir atas apa yang menimpa Najwa, meluruskan disinformasi, dan mengingatkan kontribusi Najwa Shihab.

‘Bentuk kekerasan simbolis’

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida, menyebut apa yang dialami Najwa Shihab “adalah bentuk kekerasan simbolis”.

Pelaku bukan saja ingin menyebabkan ketakutan tapi juga ingin menunjukkan kalau buku berisi ide-ide dan pertanyaan kritis Najwa patut dienyahkan, menurut Nany.

“Yang bisa jadi nanti [serangan] akan merembet ke ancaman fisik,” kata Nany Afrida pada Rabu (30/10).

Nany mengatakan, bentuk kekerasan dan cara-cara meneror memang cukup beragam dengan isu yang berbeda-beda. Tapi targetnya tetap sama, yakni jurnalis.

Karena itu ia menduga, secara keseluruhan pola serangan terhadap jurnalis dalam beberapa bulan terakhir bisa saja merupakan upaya sistematis.

“Trennya masih sama, yaitu menyasar jurnalis sebagai korban, terutama jurnalis yang kritis. Yang berbeda adalah modus operandinya.”

pers, najwa shihab, victor mambo
Keterangan gambar,Foto ilustrasi

Nany mengungkapkan kekerasan terhadap ada yang simbolis seperti dialami Najwa, ada juga yang menyasar barang milik target, penangkapan dengan alasan pengamanan, pelemparan bom rakitan ke kantor media, bahkan melakukan pembakaran rumah target seperti yang terjadi di Sumatera Utara.

“Penciptaan iklim ketakutan” tersebut menurut Nany sering kali digunakan agar jurnalis urung mengutarakan kritik, dan ini berkontribusi menghambat kerja-kerja jurnalistik.

“Misalnya, jurnalis muda di Jubi yang ketakutan dan trauma setelah kantornya dilempari bom molotov, atau kekhawatiran bagi jurnalis yang kritis untuk bebas bepergian.

Belum lagi mereka juga khawatir keselamatan keluarganya. Ujung-ujungnya bisa ke pembungkaman jurnalis dan akhirnya media di mana jurnalis itu bekerja,” tambah Nany lagi.

Victor Mambor, jurnalis
Serangan juga menarget jurnalis di Papua, salah satunya terhadap jurnalis Jubi, Victor Mambor

Tahun ini saja, dari Januari hingga Oktober, AJI mendokumentasikan 57 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sembilan kasus di antaranya terjadi dalam dua bulan terakhir.

Pada 2023, AJI mencatat sedikitnya ada 89 kasus serangan dan hambatan yang menarget jurnalis dan organisasi media. Sebanyak 83 individu, lima kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban.

Jumlah tersebut naik dibandingkan tahun 2022, yaitu sebanyak 61 kasus. Kemudian, 41 kasus pada 2021.

Data 2023 menunjukkan, kekerasan tertinggi terjadi pada jurnalis atau media yang melaporkan isu-isu terkait akuntabilitas dan korupsi (33 kasus), diikuti isu sosial dan kriminalitas (25 kasus), serta isu lingkungan dan konflik agraria (14 kasus) serta, isu politik dan Pemilu (lima kasus).

‘Saya tidak pernah takut’

Serangan yang menarget pribadi jurnalis bukan hanya terjadi pada Najwa Shihab. Hal serupa dialami jurnalis Papua, Victor Mambor.

Pemimpin Umum Jujur Bicara (Jubi) tersebut mengaku telah beberapa kali mengalami serangan teror yang diduga terkait kerja-kerja jurnalistiknya.

Mulai dari intimidasi melalui media sosial, teror dan komentar bernada provokatif, hingga berujung pada perusakan mobil miliknya pada 2021.

Selain menyerang Victor, saat itu konten bernada negatif yang menyudutkan Jubi juga bermunculan di media sosial.

Pada 2023 sebuah bom rakitan meledak di dekat rumahnya.

“Saya sebenarnya sudah mati rasa, mau lakukan apa [terhadap saya], terserah lah. Saya sudah tidak peduli lagi.”

Victor Mambo, Jubi, pers, Papua
Keterangan gambar,Victor Mambo, Pemimpin Umum Jubi: “Saya juga sangat marah. Saya juga sangat kecewa. Karena saya berkali-kali mengalami ini dan tidak pernah diselesaikan.”

“Saya juga sangat marah. Saya juga sangat kecewa. Karena saya berkali-kali mengalami ini dan tidak pernah diselesaikan,” ucap Victor Mambor ketika dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

Yang terbaru, kantor redaksi media Jubi dilempar bom molotov pada 16 Oktober 2024.

Victor tak pernah menyangka bila teror tersebut kemudian akan menarget kantor tempat medianya bekerja.

“Saya merasa menjadi beban.”

“Saya hanya berpikir bahwa serangannya ini akan terus-terusan ke saya, ke rumah saya. Ternyata [serangan] mereka mulai ke kantor [Jubi]. Ini mengubah cara berpikir saya, perlahan-lahan saya harus keluar dari lingkaran Jubi,” ungkap Victor.

Semula ia berpikir, risiko pekerjaan jurnalis hanya akan berdampak pada dirinya dan keluarga. Tapi rupanya kini yang terjadi, serangan itu menjalar hingga ke kantor medianya bekerja.

Kendati begitu, ia menegaskan tidak akan berhenti jadi wartawan.

“Saya tidak pernah rasa takut. Saya tetap akan seperti ini.”

Jubi, Victor Mambo, Papua
Keterangan gambar,Polisi memeriksa lokasi kejadian serangan bom molotov di Kantor Redaksi Jubi, Jalan SPG Taruna, Kota Jayapura, Rabu (16/10).

Jean Bisay selaku pemimpin redaksi Jubi, melalui pernyataan tertulis menyatakan serangan bom molotov ke kantor Jubi di Kota Jayapura, Papua tersebut terjadi dini hari.

Dua mobil operasional Jubi yang diparkir di halaman kantor itu terbakar dan rusak. Pelemparan bom molotov, berdasarkan rekaman CCTV, diduga dilakukan dua orang yang berboncengan menggunakan sepeda motor.

Seperti diberitakan, Kepolisian Sektor Kota Heram yang memeriksa tempat kejadian perkara memastikan itu adalah bom molotov.

Kepala Kepolisian Sektor Kota Heram, Iptu Bernadus, mengatakan masih menunggu Tim Labfor untuk mengetahui detail bahan-bahan bom molotov tersebut.

Serangan teror juga dialami jurnalis Tempo yang juga menggawangi siniar “Bocor Alus Politik”, Hussein Abri Dongoran. Dia diteror melalui perusakan mobil pada awal September 2024.

Dua orang berkendara motor ditengarai merusak kaca mobil Hussein di dekat Pos Polisi Kukusan, Depok. Ini yang kedua kali. Teror berupa perusakan kaca mobilnya juga terjadi pada awal Agustus 2024.

Bagaimana peran negara melindungi jurnalis?

Komite Keselamatan Jurnalis menggelar aksi unjuk rasa di halaman Mapolda Sumatera Utara, Medan, Kamis, 25 Juli 2024.
Keterangan gambar,Komite Keselamatan Jurnalis menggelar aksi unjuk rasa di halaman Mapolda Sumatera Utara, Medan, Kamis, 25 Juli 2024.

Berbagai peristiwa kekerasan tersebut menggambarkan kemerdekaan pers dalam konteks pemberitaan masih menghadapi tantangan besar, menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu.

Beberapa pihak yang merasa terganggu dengan pemberitaan kritis bukannya menempuh jalur konstitusional, tapi justru melakukan teror dan kekerasan, menurut Ninik.

Karena itu ia pun meminta siapapun yang tidak sepakat dengan produk jurnalistik untuk menempuh cara–cara sesuai UU Pers—termasuk menggunakan hak jawab terhadap pemberitaan yang dianggap tidak berimbang, tidak akurat atau lainnya.

“Dewan Pers sedang menyusun mekanisme perlindungan kepada jurnalis. Selama ini kan masih ada anggapan bahwa perlindungan terhadap jurnalis itu [hanya] dilakukan perusahaan pers,” kata Ninik ketika dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

Jadi sepanjang jurnalis bekerja secara profesional maka harus negara harus melindungi, tambah Ninik.

Ninik Rahayu, Dewan Pers, Jubi, Victo Mambo, Najwa Shihab
Keterangan gambar,“Dewan pers sedang menyusun mekanisme perlindungan kepada jurnalis. Selama ini kan masih ada anggapan bahwa perlindungan terhadap jurnalis itu [hanya] dilakukan perusahaan pers,” kata Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Rabu (30/10).

Ia juga meminta aparat penegak hukum serius mengusut serangkaian kasus kekerasan yang dialami jurnalis ataupun organisasi media. Sebab jika dibiarkan akan berpotensi memunculkan kekerasan berulang.

“Kekerasan dalam bentuk apapun, bukan hanya fisik, tapi juga siber, doxing, intimidasi, bahkan bermuatan seksual melalui siber ini adalah tindak kejahatan serius yang harus diungkap kebenarannya, dan diberi hukuman yang setimpal.”

Sayangnya, kata Nany Afrida dari AJI, selama ini kebanyakan laporan kekerasan terhadap jurnalis berujung tanpa penyelesaian.

Dari total 89 kasus sepanjang 2023, sebanyak 20 di antaranya telah dilaporkan polisi. Tapi sebagian besar yakni 13 kasus belum ada tindak lanjut, tidak ada keterangan dan belum ada pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Hal ini menyebabkan impunitas dan siapa pun jadi berani melakukan kekerasan pada jurnalis karena memang tidak akan pernah dihukum,” tukas Nany.

Laporan Situasi Kebebasan Pers AJI 2023
Keterangan gambar,Laporan Situasi Kebebasan Pers AJI 2023

Menurut Observatory of Killed Journalists, hampir 9 dari 10 kasus pembunuhan jurnalis masih belum terselesaikan secara hukum.

Laporan Situasi Kebebasan Pers yang dirilis AJI pada 2023 menemukan situasi keamanan jurnalis dan media semakin mengkhawatirkan. Dari total 89 kekerasan yang terjadi, jenis kasus tertinggi berupa teror, intimidasi dan ancaman sebanyak 26 kasus.

Diikuti kemudian kekerasan fisik sebanyak 18 kasus, serangan digital 14 kasus, larangan liputan 10 kasus, penghapusan hasil liputan tujuh kasus, perusakan dan perampasan alat kerja 5 kasus, serta kriminalisasi dan gugatan perdata empat kasus.

Sementara pelaku kekerasan terbanyak pada jurnalis dan media adalah aktor negara sebanyak 36 kasus. Kemudian diikuti pelaku dari aktor non-negara sebanyak 29 kasus dan tidak teridentifikasi sebanyak 24 kasus.

Laporan Situasi Kebebasan Pers AJI 2023
Keterangan gambar,Laporan Situasi Kebebasan Pers AJI 2023

AJI juga menyoroti pelaku kekerasan yang tidak diketahui, utamanya pada kasus-kasus serangan digital. Keberadaan mereka sulit diidentifikasi sehingga tidak ada institusi yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Karena itu kekuatan negara perlu hadir melalui penegakan hukum untuk membongkar pelaku kejahatan terhadap jurnalis, menurut Nany.

Senada diutarakan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, bahwa kerja-kerja jurnalis harus dilindungi “karena pemerintah memang oleh undang-undang dasar diberi tanggung jawab melakukan tata kelola negara”.

“Dalam konteks ini Dewan Pers sudah membentuk Satgas Perlindungan terhadap jurnalis dari berbagai bentuk kekerasan. Tentu kita juga meminta peran serta perusahaan pers dan penanggung jawab produksi untuk tetap berpegang pada kode etik”.

Merespons berbagai kekerasan tersebut, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Digital, Prabunindya Revolusi, mengklaim pemerintah berkomitmen untuk melindungi kerja-kerja jurnalis.

“Prinsipnya, saat jurnalis sedang menjalankan tugasnya, maka haknya harus dilindungi dari intimidasi dan kekerasan,” kata Prabu saat dihubungi BBC News Indonesia, Rabu (30/10).

Hanya saja, Prabu tidak merinci bentuk dan mekanisme detail jaminan keamanan terhadap jurnalis tersebut.

Ia mengatakan, “undang-undang cukup jelas mengaturnya—menghalangi pekerjaan jurnalis bisa disanksi pidana”.

Prabu Revolusi, pers, Najwa Shihab, Victor Mambo
Prabu Revolusi (kanan) setelah dilantik menjadi Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kominfo di Kantor Kominfo, Jakarta Pusat, Senin (19/08).

Indonesia memang memiliki UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers yang di antaranya mengatur perlindungan bagi jurnalis.

Meski regulasi ini sudah lebih dari 24 tahun hadir, kerja-kerja jurnalis masih berpotensi dihalang-halangi dan menjadi sasaran teror serta kekerasan.

Indeks Kebebasan Pers Indonesia belum pernah masuk kategori bebas. Setidaknya bertolok pada laporan Reporters Without Borders (RSF) dalam 10 tahun terakhir, kebebasan pers di Indonesia tak pernah beranjak dari level situasi sulit.

Indeks Kebebasan Pers sedunia yang dirilis RSF pada 2024 menempatkan Indonesia pada urutan ke-111 dari 180 negara.

Peringkat ini merosot dibanding 2023 yang menduduki urutan ke-108. (h/BBCIndonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *