Nayptityaw, PRESTASIREFORMASI.Com — Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tiba di Jakarta dalam pertemuan ASEAN untuk membahas krisis di Myanmar. Pemimpin junta militer yang berada di balik kudeta Myanmar ini tiba Sabtu (24 April) siang.
Siapa sebenarnya Min Aung ini? Ia ditunjuk memimpin Myanmar setelah kudeta militer pada 1 Februari 2021 lalu.
Dalam jajaran Tatmadaw, jenderal Min Aung Hlaing dikenal kuat memegang pengaruh politik yang signifikan, bahkan sebelum kudeta yang diperintahkan olehnya.
Baca Juga
Perempuan Bercadar Ini Merawat 70 Anjing Liar di Bogor Isu Reshuffle, Fadli Zon: Menkeu Perlu Dievaluasi Indonesia Sudah Miliki 51 Juta Dosis Vaksin Covid-19
Dia juga dikenal sebagai sosok yang intimidatif. Min Aung Hlaing berhasil mempertahankan kekuatan Tatmadaw, sebutan militer Myanmar, ketika Myanmar beralih ke demokrasi.
Namun, dia menerima kecaman dan sanksi internasional atas dugaan perannya dalam serangan militer terhadap etnis minoritas.
Usai kudeta terhadap Presiden Myanmar Win Mynt, dan penasihat negara atau pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, Myanmar kini kembali ke pemerintahan militer di bawah kepemimpinannya. Min Aung Hlaing bakal memperluas kekuasaannya dan membentuk masa depan negara dalam waktu dekat.
BERITA ITERNASIONAL:
- ICC Resmi Keluarkan Surat Penangkapan PM Israel Netanyahu
- 14 Teman Diduga Dibunuh Gunakan Racun Sianida, Kasus Pembunuhan Serial Terparah di Thailand
- Apakah Kemenangan Trump akan Picu Perang Dagang Baru?
- “3 Aset Ini Wajib Ditimbun Saat Perang Dunia” Sebut Robert Kiyosaki
- Penembakan Kembali Terjadi di AS, 5 Orang Tewas
- Virus West Nile dari Nyamuk, Penyakit Mematikan yang Belum Ada Vaksinnya?
Jenderal berusia 64 tahun itu menghabiskan seluruh kariernya di militer yang berpengaruh di mana ia bergabung sebagai kadet awalnya. Dia merupakan seorang mantan mahasiswa hukum di Universitas Yangon.
Dia memasuki Akademi Layanan Pertahanan dalam tes ketiganya pada 1974. Dikenal sebagai prajurit infanteri yang relatif sederhana kemudian dia mendapatkan promosi reguler dan naik kelas, hingga akhirnya menjadi komandan Biro Operasi Khusus-2 pada 2009.
Dalam perannya ini, ia mengawasi operasi di timur laut Myanmar. Operasi tersebut menyebabkan puluhan ribu pengungsi etnis minoritas melarikan diri dari Provinsi Shan bagian timur dan wilayah Kokang, di sepanjang perbatasan Cina. Meski pasukannya dituduh melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran, Jenderal Min Aung Hlaing terus memiliki kuasa.
Pada Agustus 2010 ia menjadi kepala staf gabungan. Kurang dari setahun kemudian, ia dipilih untuk jabatan tertinggi militer di depan jenderal yang lebih senior. Saat itu, dia menggantikan pemimpin lama Than Shwe sebagai panglima tertinggi pada Maret 2011.
Min Aung Hlaing memulai masa jabatannya sebagai panglima militer saat Myanmar beralih ke demokrasi pada 2011. Itu terjadi setelah beberapa dekade pemerintahan militer, tetapi tetap tertarik untuk mempertahankan kekuasaan Tatmadaw.
Pengaruh politik dan kehadirannya di media sosial meningkat ketika Union Solidarity and Development Party (USDP) yang didukung militer memimpin pemerintahan. Pada 2016, ketika Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi berkuasa, Hlaing beradaptasi dengan perubahan. Dia terlihat bekerja bersama dan tampil di acara publik bersamanya.
Terlepas dari perubahan tersebut, dia memastikan Tatmadaw terus memegang 25 persen kursi parlemen dan portofolio kabinet terkait keamanan yang penting. Dia menolak upaya NLD untuk mengubah konstitusi dan membatasi kekuatan militer.
Pada 2016 dan 2017, militer mengintensifkan tindakan keras terhadap etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine utara. Tindakan itu menyebabkan banyak Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar.
Panglima militer itu dikutuk secara internasional atas tuduhan genosida. Pada Agustus 2018 Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan, akan melakukan penyelidikan terhadap Hlaing.
“Para jenderal militer tertinggi Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan dituntut atas genosida di utara Negara Bagian Rakhine, serta kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di Negara Bagian Rakhine, Kachin dan Shan,” ujar pernyataan Dewan Keamanan PBB dikutip laman BBC, Selasa (2/2).
Menyusul pernyataan dewan, Facebook dan Twitter kemudian menghapus akunnya, bersama dengan individu dan organisasi lain. Mereka dikatakan telah melakukan atau memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius di negara Myanmar.
AS juga menjatuhkan sanksi pada 2019 atas dugaan peran Min Aung Hlaing dalam pembersihan etnis dan pelanggaran hak asasi manusia. Kedua kalinya, AS juga memberikan sanksi pada Juli 2020, sementara Inggris juga menjatuhkan sanksi pada jenderal Hlaing. (h/RoL)