Pemerintah Klaim Perlindungan HAM ‘Sudah Jelas Dan Tetap Kokoh

HAM
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Aksi tersebut dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional tahun 2020.

Nasional, PRESTASIREFORMASI.Com – Kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kemunduran karena tindakan represi aparat kepolisian, berdasarkan Catatan Hari HAM Internasional yang dikeluarkan LSM Kontras.

Kemunduran itu, menurut Kontras, terlihat dari penangkapan ribuan orang dan kekerasan terhadap ratusan orang dalam aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law di berbagai daerah.

Kontras juga menyebut kekerasan oleh aparat polisi berkolerasi dengan penempatan 32 petinggi Polri menjadi pejabat negara.

Pemerintah menampik tudingan itu dan mengklaim Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen menjamin perlindungan hak asasi manusia.

Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, memproyeksi perlindungan Hak Asasi Manusia dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat tahun depan akan semakin jauh dari harapan.

Fatia mengatakan tidak ada upaya dari pemerintah untuk mengevaluasi tindakan represi aparat polisi dalam peristiwa unjuk rasa penolakan Omnibus Law.

Staf Riset dan Dokumentasi Kontras, Danu Pratama, mencatat ada 4.555 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 232 orang mengalami luka-luka dalam 87 aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di berbagai daerah.

Namun Polri tidak pernah menindak anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan. Pun, Presiden Jokowi tidak berupaya untuk mengevaluasi institusi kepolisian.

Padahal jika dibiarkan, kekerasan oleh aparat akan berulang tahun depan, kata Danu.

“Ketika tidak ada yang diproses secara hukum, dapat dipastikan kekerasan yang terjadi di tahun 2020 akan berulang tahun depan dengan isu yang lain,” ujar Staf Riset dan Dokumentasi Kontras, Danu Pratama, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis (10/12).

HAM
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Bogor berunjuk rasa memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia di depan kantor Pemerintahan Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/12/2020).

Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, juga mengatakan masifnya tindakan represi aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil yang mengkritik kebijakan pemerintah yang kontroversial tak lepas dari penempatan 32 petinggi Polri di pemerintahan.

Pengamatannya, penempatan itu secara langsung atau tidak memengaruhi kebijakan internal Polri.

“Kalau kami sebutnya mungkin dwifungsi ABRI sudah tidak ada tapi sekarang muncul multifungsi Polri karena bergerak di berbagai lini,” imbuh Fatia.

Karena itu, ia mendesak Kompolnas segera mengevaluasi institusi kepolisian.

Polisi harus jadi aparat negara yang tegak lurus

Senada dengan Kontras, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai pertanggung jawaban Polri atas kekerasan yang dilakukan anggotanya tidak pernah tuntas.

Selain karena tidak ada pengawasan yang ketat oleh Kompolnas, pemerintah sengaja memanfaatkan kekuatan polisi untuk mengamankan kebijakan pemerintah.

“Saya tidak yakin kemauan pemerintah untuk melepas kepolisian karena kepolisian sangat istimewa perannya dalam politik. Ketika era reformasi dwifungsi ABRI dipangkas, Polri jadi alat yang penting dimainkan di ranah politik,” tukas Bambang Rukminto.

“Padahal polisi harus benar-benar menjadi aparat negara yang tegak lurus bukan hanya alat kekuasaan.”

HAM
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Kamis (10/12/2020). Aksi tersebut dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional tahun 2020.

Menurutnya, cara untuk memutus kekerasan oleh polisi dengan merevisi kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar lebih kuat dan independen.

Hal lain, pemerintah harus tegas pada Undang-Undang Polri yang melarang anggota polisi aktif untuk menduduki jabatan di luar institusi seperti komisaris di BUMN atau menjadi staf di pemerintahan.

“Jabatan negara yang diisi anggota kepolisian (aktif/non aktif) bisa memunculkan konflik kepentingan pada penegakkan hukum. Ini yang menjadi akar tidak tuntasnya kekerasan aparat polisi bila menyangkut kepentingan pemerintah.”

Seperti apa evaluasi Kompolnas?

Anggota Kompolnas, Poengky Indarti, menilai tindakan polisi sudah benar dalam menindak aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law karena berhasil menghalau pelajar untuk ikut dalam demonstrasi yang menurutnya tidak dibenarkan oleh undang-undang.

Penangkapan terhadap ribuan orang pengunjuk rasa, juga disebut Poengky dilakukan kepada “kelompok yang diduga melakukan tindak pidana”.

“Karena mereka (pelajar) bukan orang yang paham apa yang diteriakkan. Kalau kaitan dengan kebebasan berpendapat, itu harus orang yang ngerti. Kalau orang nggak paham dan dimobilisir itu namanya kecelakaan, kekerasan,” ujar Poengky.

Dia juga meragukan data Kontras yang menyebutkan ratusan orang luka akibat tindakan kekerasan aparat polisi.

“Luka itu karena dipukul polisi atau luka karena dia lari takut ditangkap kemudian tersandung?”

HAM
Keterangan gambar,Tiga pengunjukrasa dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Kalimantan Barat melakukan aksi dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) di Bundaran Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis (10/12/2020).

Kendati demikian, ia menyarankan kepada korban represi aparat polisi agar segera melapor ke pengawas internal Polri untuk ditindak.

Ia mencontohkan satu kasus seorang dosen di Sulawesi Selatan menjadi korban kekerasan aparat saat aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law.

Tapi sejauhmana tindakan ke anggota polisi, ia tidak mengetahui.

Adapun evaluasi tahunan Kompolnas, mayoritas terkait dengan penanganan kasus kriminal yang pelayanannya berlarut-larut.

‘Presiden Jokowi jamin hak asasi manusia’

Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian, menampik anggapan bahwa pemerintah abai terhadap kekerasan aparat.

Kata dia, komitmen Presiden Jokowi dalam menjamin hak asasi manusia “sudah jelas dan tetap kokoh”.

“Bilamana ada kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga sipil, silakan lapor,” tutur Donny Gahral.

Ia mengatakan kendati indeks hak sipil dan politik di Indonesia menurun tapi tidak bisa serta merta dikaitkan oleh tindakan represif aparat.

Pelaku persekusi itu dilakukan oleh “aktor non-negara”.

“Jadi secara umum demokrasi kita cukup baik. Lihat saja pelaksanaan Pilkada serentak yang berjalan damai-damai saja.”

Sementara mengenai penempatan puluhan petinggi Polri di pemerintahan, menurutnya, tidak berpengaruh pada kebijakan internal Polri.

Pun, tidak membuat wajah pemerintahan identik dengan kekerasan. (h/sumber: bbcindonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *