Pemerintah Lebanon mengatakan siap mengucurkan dana darurat Rp 960 miliar. Namun, mereka sudah memperingatkan bahwa pemulihan bakal berjalan panjang. Sebab, pelabuhan yang menjadi fasilitas paling vital kini hilang.

’’Kami berusaha sekuat-kuatnya untuk menangani hal ini di tengah krisis ekonomi,’’ ujar Menteri Kesehatan Lebanon Hamad Hassan.

Spekulasi bahwa ledakan tersebut merupakan aksi terorisme juga mencuat. Presiden AS Donald Trump sempat menyebut ledakan itu sebagai bentuk serangan. Meskipun pihak Gedung Putih langsung menganulir dan pemerintah Lebanon ikut menyangkal.

Rumor tersebut beredar karena titik ledakan sebenarnya dekat dengan peristiwa pengeboman yang membunuh Perdana Menteri Rafik Hariri pada 2005. Pengadilan khusus di Belanda juga dijadwalkan memberikan putusan terhadap empat anggota Hizbullah atas pengeboman tersebut.

Saat itu Syria memang belum mengakui kemerdekaan Lebanon. Dunia politik terpecah terhadap kubu yang pro dan kontra terhadap pemerintahan Bashar Al Assad.

Hariri yang masuk kubu anti-Syria memprotes rencana perpanjangan masa jabatan Presiden Emile Lahoud yang pro-Syria. Kematian Hariri pun memicu Cedar Revolution yang menjadi akar pengakuan kedaulatan Lebanon pada 2008.

Jimmie Oxley, profesor kimia dari University of Rhode Island, mengatakan bahwa amonium nitrat memang membutuhkan pemicu untuk meledak.

Jika dibiarkan dalam suhu ruangan, zat tersebut hampir tak mungkin meledak. ’’Jika dilihat dari asap ledakan, saya menduga ada ledakan kecil yang memicu reaksi dari amonium nitrat. Soal disengaja atau tidak, saya tak tahu,’’ paparnya.

Sementara itu, Hizbullah sudah memberikan pernyataan. Mereka mengucapkan belasungkawa terhadap korban. Mereka juga meminta Lebanon tak terpecah dalam masa genting seperti ini.

’’Kami siap menyumbangkan tenaga untuk ikut membantu penanganan tragedi ini,’’ tulis Hizbullah menurut Al Masdar News. (h/jpnn)

Laman: 1 2 3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *