Jogya, PRi.Com – Setara Institute merilis peningkatan jumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di DIY dalam lima tahun terakhir. Hal tersebut membuat DIY menjadi salah satu diantara 10 daerah dengan jumlah kasus tertinggi, bertolak belakang dengan 12 tahun lalu di mana DIY menjadi salah satu daerah paling toleran.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur DIY Sri Sultan HB X mengungkap bawasanya ia belum mengetahui indikator apa yang digunakan Setara untuk mengukur tingkat intoleransi yang terjadi. Namun begitu, Sultan menyampaikan bawasanya pemda DIY terus berusaha menurunkan intoleransi melalui berbagai cara.
“Itu (intoleransi) mungkin saja terjadi, kita hanya bisa berusaha menurunkan beban intoleransi secara maksimal. Sekarang sebetulnya perkembangan terjadi, hanya saja sekarang alasannya kearifan lokal, ganti motif ganti isu. Selain melakukan literasi ke masyarakat, kejadian-kejadian itu kita tangani, karena hanya akan menimbulkan intoleransi,” ungkap Sultan pada wartawan Senin (25/11/2019).
Berita terkait:
Sultan juga mengatakan bawasanya selama ini pihaknya sudah cukup tegas dengan tindakan-tindakan yang terindikasi bermuatan intoleransi.” Kami keras terhadap hal-hal yang kurang berkenan. Masjid Agung pun Kraton tak boleh saya gunakan untuk kegiatan lain, itu semuanya kan hanya untuk intoleransi,” tandas orang nomor satu di DIY ini.
Sebelumnya, Setara Institute sendiri mendasarkan penilaian intoleransi pada empat faktor yakni institusi yang diduga melakukan pembiaran, regulasi diskriminatif, aktor-aktor lokal yang intoleran dan masyarakat sipil. Meski begitu, mereka menyatakan bawasanya hampir seluruh tempat di Indonesia pernah menjadi lokasi tindakan intoleransi.
Di DIY sendiri selama 2019 tercatat beberapa kasus terjadi seperti larangan tinggal bagi seseorang karena berbeda keyakinan di Pleret Bantul dan yang teranyar larangan warga pada ibadah komunitas Hindu-Budha di Pajangan Bantul. (h/KRJogya)