Jakarta, PRi.Com – – Indonesia Corruption Watch alias ICW menilai klaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebagai delusi belaka.
Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz menyatakan, sikap Presiden Jokowi yang telah disampaiman sebenarnya tidak jauh berbeda dari draf Rancangan Undang-Undang (RUU) revisi UU KPK yang telah disusun DPR. Ia menyebut presiden dan wakil rakyat sama-sama ingin melemahkan KPK melalui revisi undang-undang.
“Presiden kadarnya lebih kecil saja dari DPR. Poinnya tetap bertemu untuk memperlemah,” ujar Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz kepada wartawan, Minggu (15/9).
Upaya pelemahan tersebut antara lain, terkait dewan pengawas (Dewas) KPK. Presiden dan DPR setuju KPK harus diawasi dewas. Akan tetapi, Presiden Jokowi menginginkan anggota dewas dipilih langsung olehnya sementara DPR ingin terlibat dalam pemilihan. Terlebih, KPK nantinya baru dapat melakukan penyadapan jika memegang izin dari dewas.
ICWmenilai, keberadaan dewas yang diatur dalam RUU hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihannya saja. Ia menyatakan, fungsi dan eksistensi dewas tetap sama yakni menjadi perangkat birokratis izin penyadapan KPK.
Lebih lanjut terkait hal ini, Donal menyebut muncul konsekuensi berupa penyadapan yang dilakukan KPK akan berjalan lambat. Bahkan bisa batal, jika dewas tak memberikan izin.
“KPK bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap. Akibatnya kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis,” ucap Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz.
Selanjutnya terkait kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diberikan kepada KPK. Ia menilai, klaim Presiden Jokowi terkait hal ini hanya berubah dari sisi waktu.
Dalam usulan DPR, KPK diberikan jangka waktu satu tahun untuk menerbitkan SP3 dalam mengusut suatu perkara. Sedangkan Presiden Jokowi meminta waktunya diperpanjang menjadi dua tahun.ICWl khawatir pembatasan waktu tersebut akan membuat KPK kesulitan menangani perkara yang kompleks. Sehingga akibatnya KPK hanya bisa menanangani kasus-kasus kecil.
Terakhir, kata dia, Presiden Jokowi menyatakan penyelidik dan penyidik KPK tak hanya berasal dari kalangan Polri dan Kejaksaan. Melainkan dapat diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut Donal, substansi usulan DPR ini tak berubah.
Faktanya, kata Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz, kinerja Penyidik PNS (PPNS) sekarang buruk. Tidak dapat menangani kejahatan besar. PPNS di KPK, kata dia, juga harus tunduk pada mekanisme Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) yang dikendalikan Polri.
“Alih-alih dapat menyupervisi dan mengoordinasi penanganan korupsi, penyelidik dan penyidik KPK malah disupervisi oleh kepolisian,” tutupnya.
Sementara itu, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi meminta Presiden Jokowi menghentikan pembahasan revisi UU KPK melalui penarikan surat presiden (supres).
“Penarikan surpres dapat dilakukan berdasarkan contrarius actus, yaitu asas dalam hukum administrasi negara yang memberikan kewenangan pada pejabat negara untuk membatalkan keputusan yang sudah ditetapkannya,” kata Fajri.
Fajri menjelaskan, presiden memiliki kewenangan untuk membatalkan supres yang telah ditetapkan. Dengan harapan, presjden dapat lebih tegas dan efektif mewujudkan janninya menciptakan KPK yang independen.
Ia pun menyatakan penarikan supres juga bisa memecah kevakuman proses pemberantasan korupsi di tengah kegaduhan revisi UU KPK. Apalagi, kata dia, pimpinan KPK telah mrengembalikan mandat kepada presiden.
“Presiden menjalankan perannya sebagai lembaga yang mengoreksi kesalahan DPR dalam hal kekuasaan pembentukan undang-undang, sebab revisi Undang-Undang KPK dinilai melanggar hukum,” kata Fajri.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan revisi terhadap UU KPK bukan untuk melemahkan lembaga antirasuah. Ia menyatakan revisi dilakukan untuk menyempurnakan aturan dasar KPK lantaran sudah 17 tahun lamanya tak mengalami perubahan. (h/fajar)