Jakarta, PRESTASIREFORMASI.Com Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Yang sebelumnya masih dalam batas wajar, kina melonjak tinggi dengan mengikuti perkembangan kenaikan harga sawit yang juga terus membaik.

“Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tau penyebab kenaikan harga pupuk dan produsen pupuk plat merah diminta sebagai penyeimbang serta kontrol harga,jangan kemudian malah ikut menaikan harga,” katanya dalam webinar Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) yang bertemakan ” Perbaikan Tata Kelola Pupuk: Realitas dan Fakta” Pada Jum’at 29 Oktober 2021.

Lebih lanjut Gulat menyampaikan, pihaknya tidak menuntut pupuk subsidi,hanya meminta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk yang non subsidi.Karena dengan kenaikan harga pupuk bakal berdampak pada terancam gagalnya Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), lantaran anggaran biaya PSR sudah tak sesuai akibat kenaikan harga pupuk.”Sebagai contoh pupuk urea hanya sekitar Rp4.500/kg sebelum adanya kenaikan. Namun sekarang sudah mencapai diatas Rp6000/kg,” ucapnya.

Ini akibatnya berdampak pada Harga Pokok Produksi(HPP) Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani,bila sebelum terjadinya peningkatan harga pupuk, yang mencapai Rp794 per kg nya.”Namun HPP kami sekarang Rp1350 per kg karena 58 persen pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat lebih lanjut.

Alhasil pendapatan petani sekarang hanya Rp815.000,00,- /ha/bulan dari sebelumnya mampu mencapai Rp1.100.000,00,-/ha/bulan. ” Harga sawit Rp3.000,- per kg, tapi kami turun pendapatan, bisa bangkrut,” ujarnya.

Sementara pemerintah telah berkomitmen menjaga stok dan keterjangkauan harga pupuk baik subsidi mau pun non subsidi dalam upaya meningkatkan produktivitas lahan petani. Di sektor perkebunan, petani sawit meminta intervensi pemerintah karena harga Pupuk non subsidi naik signifikan yang mencapai 70 hingga 120 persen.

Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian RI, Gunawan menjelaskan bahwa pupuk salah satu sarana produksi yang sangat strategis bagi pertanian.”Tidak saja mempengaruhi capaian produksi, tapi berdampak sosial sangat luas karena menjangkau sekitar 17 juta petani, pada 6063 Kecamatan,489 Kabupaten dan 34 Provinsi,” katanya.

Untuk pupuk bersubsidi, Gunawan mengungkapkan, tata kelolanya menjadi perhatian seluruh pihak terkait. Di era digital 4.0 dimana transparansi publik dan pertanggung jawaban sosial selalu menjadi sorotan. Hal ini menjadi tantangan yang luar biasa bagi petugas yang menangani pupuk bersubsidi.

Masih menurut Gunawan, upaya peningkatan produktivitas pertanian dapat terwujud salah satunya dukungan dari kegiatan pemupukan.”Proses pemupukan yang tepat sasaran berkontribusi tinggi dalam pencapaian produksi pertanian seperti padi,” ujarnya.

Berdasarkan data Ditjen PSP Kementerian Pertanian RI, kebutuhan pupuk untuk petani mencapai 22,57-26,18 juta ton atau senilai Rp63-65 triliun dalam lima tahun terakhir. Tetapi, keterbatasan anggaran pemerintah hanya dapat mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 8,87-9,55 juta ton dengan nilai anggaran Rp25-32 triliun.

Direktur Pupuk dan Pestisida Ditjen PSP Kementerian Pertanian, Muhammad Hatta menjelaskan, ada beberapa potensi masalah yang menjadi persoalan pupuk bersubsidi yaitu perembesan antar wilayah, isu kelengkapan pupuk, mark up Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk di tingkat petani, alokasi menjadi tidak tepat sasaran dan produktivitas menurun.

“Memang masalah tadi akan berdampak lebih lanjut bagi turunnya produktivitas tanaman. Disebabkan petani tidak menggunakan tepat waktu dan jumlahnya,” kata Hatta.( Saiful AP/MIS).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *