29 Desember 2004, Bank Indonesia resmi mengedarkan uang kertas pecahan Rp20.000,00 dan Rp100.000,00

Televisi swasta ketika melaporkan kronologis kematian Ersa Siregar dalam baku tembak antara TNI dan GAM. (fotoL istimewa)

Peristiwa/Kisah, PRESTASIREFORMASI.Com – Tidak ada siapa pun di dunia yang mampu memprediksi dengan tepat atas kematian seseorang, karena hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa yang punya kuasa atas segalanya. Namun yang jelas, ‘kematian’ itu pasti akan merenggut siapa pun yang bernyawa dan fana, mau wartawan hingga presiden sekalipun.

“Hiduplah seakan-akan kamu mati besok. Belajarlah seakan akan kamu hidup selamanya.” demikian pemimpin spiritual dan politikus dari India Mahatma Gandhi. Seperti kisah seorang Wartawan ternama di Indonesia pada masanya, bernama Ersa Siregar yang akhirnya meregang nyawa tertembus peluru dalam konflik Aceh 17 tahun lalu.

Ersa Siregar Disandera Hingga Tewas Diterjang Peluru

Kisah kematian Ersa masih melekat dalam kenangan Ferry Santoro kamerawan RCTI rekan Ersa Siregar ketika mengalami menit-menit menegangkan pada Minggu sore, 29 Juni 2003.

Seperti dilansir dari Merdeka.com dia menceritakan kejadian menegangkan itu berawal saat usai solat ashar dalam perjalanan Langsa ke Lhokseumawe untuk balik ke pos mereka. Pada Minggu pagi, dia dan Ersa Siregar yang bertugas sebagai reporter, berada di Kuala Langsa untuk meliput hasil operasi pasukan Marinir TNI.

Di perjalanan, mobil Toyota Kijang dengan plat BK 1753 CO yang ditumpangi mereka dihadang oleh sekelompok orang setelah baru melaju sekitar 200 meter dari masjid. Sekelompok pria bersenjata menghadang dan memaksa mereka untuk turun. Kelompok itu muncul dari kiri-kanan selokan jalan di lokasi kejadian.

“Tabrak!” teriak Ersa.

“Berhenti saja,” kata Safrida, warga sipil yang juga duduk di dalam mobil.

Ada lima orang, termasuk sopir di dalam mobil itu. Selain Ersa, Safrida, Ferry Santoro, juga ada Soraya, adik Safrida. Sejak sore itu, kelimanya diculik dan menjadi tawanan para pemuda yang merupakan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Di Lhokseumawe, rekan Ersa dan Ferry harap-harap cemas, karena mereka harusnya sampai hari Minggu sore itu. Ersa bahkan sempat mengirimkan laporan tentang hasil liputan operasi di Kuala Langsa.

Ersa juga sempat bilang ke rekan-rekannya, akan kembali ke Jakarta keesokan hari sebab sudah berjanji pada istrinya untuk mengajak liburan.

Sampai Senin, pihak RCTI maupun keluarga tak kunjung mendapat kabar dari Ersa dan Ferry. Segenap jurnalis di Lhokseumawe langsung menghubungi kontak-kontak petinggi GAM yang mereka punya, menanyakan keberadaan Ersa dan Ferry.

Ersa Siregar. (wikipedia)

Rekan-rekan pos RCTI di Lhokseumawe juga melakukan pencarian, mereka meluncur ke Kuala Langsa, menanyai kedai-kedai di sekitaran pelabuhan.

Seorang perempuan di satu kedai sempat bilang ia melihat Ersa dan Ferry. Dia ingat melihat simbol RCTI di atribut yang dipakai sang reporter. Tim pencarian lalu menyusuri jalan Medan-Banda Aceh, menanyai orang-orang di SPBU, kedai kopi, rumah makan, dan sebagainya. Namun, tak satupun dari mereka melihat Ersa dan Ferry.

Tiga hari setelah Ersa dan Ferry hilang, barulah kru RCTI mendapat kepastian dari Juru Bicara GAM. Mereka membenarkan bahwa Ersa, Ferry, dan tiga orang lainnya yang satu mobil menjadi tawanan GAM kelompok Ishak Daud—Panglima GAM tertinggi di Aceh Timur. Peristiwa penyanderaan inilah yang akhirnya membuat salah satu jurnalis RCTI ini meregang nyawa kena terjangan peluru.

Ferry menulis buku berjudul Antara Hidup dan Mati: 325 Hari Bersama GAM (2006). Dari buku ini terungkap detail kisah penyanderaan bermula. Saat hari kejadian penyanderaan, para anggota GAM menghadang mobil Kijang lalu masuk ke dalam mobil yang ditumpangi Ersa, Ferry dan penumpang lain. Ersa yang duduk di kursi depan ditarik dan didorong untuk kemudian duduk di kursi paling belakang. Begitu pula dengan sang sopir.

Laman: 1 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *