Samosir. PRi.Com
Aksi 128 kepala desa yang mendatangi Kantor DPRD Samosir untuk memprotes penerapan PMK 081 Tahun 2025 memunculkan pertanyaan besar: apakah tuntutan mereka bertentangan dengan regulasi pusat atau justru selaras dengan kondisi lapangan?

Sebagai bagian dari tanggung jawab redaksi untuk memberikan informasi yang berimbang, berikut analisis resmi kami terhadap isi penolakan para kepala desa dan relevansinya terhadap PMK 081/2025.

Apa Isi PMK 081/2025?

Berdasarkan dokumen resmi, PMK 081/2025 berisi ketentuan baru terkait penyaluran Dana Desa. Inti perubahan yang paling berdampak adalah:

Tahap penyaluran Dana Desa mengharuskan desa memenuhi persyaratan tambahan, yaitu pembentukan atau dukungan terhadap Koperasi Desa Merah Putih, atau paling tidak dokumen kesepakatan dan pendirian koperasi tersebut.

Tanpa pemenuhan persyaratan administrasi tersebut, Dana Desa tahap berikutnya tidak bisa dicairkan.

PMK ini diundangkan pada akhir November 2025, sehingga berlaku menjelang penutupan tahun anggaran.

Apakah Penolakan Kepala Desa Bertentangan dengan PMK?

1. Secara Regulasi: Ya, Desa Tetap Wajib Memenuhi Persyaratan

Karena PMK adalah regulasi resmi dari pemerintah pusat, maka:

Desa wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan.

Penolakan sepenuhnya terhadap pemberlakuan PMK dapat dikategorikan sebagai ketidak sesuaian terhadap aturan administratif yang mengatur pencairan dana negara.

Jika persyaratan tidak dipenuhi, desa memang tidak dapat melakukan pencairan dana, sesuai mekanisme yang sah.

Dari sisi murni kepatuhan hukum, desa tidak dapat menghindarinya.

2. Namun Secara Substansi dan Konteks Lapangan: Penolakan Mereka Sangat Masuk Akal

Penolakan para kepala desa tidak bernuansa melawan aturan, melainkan protes terhadap waktu pemberlakuan yang dinilai tidak realistis, karena:

PMK turun di akhir tahun, saat RAB dan kegiatan desa telah berjalan hampir 100%.

Proses pendirian koperasi tidak bisa dilakukan tergesa-gesa karena membutuhkan:

Musyawarah desa,

Dokumen legal,

Penyesuaian APBDes,

Proses badan hukum.

Banyak desa sedang mengalami tekanan sosial-ekonomi:

Gagal panen akibat kemarau panjang,

Honor tutor desa yang harus segera dibayarkan,

Beban sosial meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru.

Dalam kondisi seperti ini, PMK yang turun mendadak berpotensi:

menghambat pembayaran kegiatan yang sudah berjalan,

menciptakan kekacauan administrasi,

memicu kerawanan sosial di tingkat desa.

Dari sisi kemanusiaan, tata kelola, dan kewajaran teknis, penolakan kepala desa dapat dibenarkan.

Jadi, Di Mana Letak Masalahnya?

Setelah menelaah dokumen regulasi dan pernyataan para kepala desa, redaksi menyimpulkan:

Yang dipersoalkan bukan isi PMK,

melainkan waktu penerapannya yang dianggap tidak sinkron dengan kondisi di lapangan.

Dengan kata lain:

Para kepala desa tidak menolak aturan – mereka menolak diberlakukan mendadak di tahun berjalan.

Ini berbeda secara prinsip dengan penolakan substansi regulasi.

Kesimpulan Redaksi

Berdasarkan analisis kami, berikut posisi yang bisa dipahami publik:

✔ Penolakan kepala desa tidak melanggar PMK.

Mereka tidak meminta PMK dibatalkan, hanya ditunda penerapannya ke tahun anggaran berikutnya.

✔ Penolakan mereka wajar dan memiliki dasar teknis yang kuat.

PMK 081/2025 turun terlalu mepet dengan penutupan tahun anggaran, sehingga tidak memberikan waktu adaptasi yang layak.

✔ Regulasi tetap sah dan mengikat.

Jika tidak ada penyesuaian dari pemerintah pusat, desa tetap wajib memenuhi syarat agar pencairan dana dapat dilakukan.

✔ Pemerintah pusat perlu memberi ruang transisi agar desa tidak terkena dampak administratif dan sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *