Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com
Dalam beberapa bulan terakhir, Kabupaten Samosir kembali diguncang serangkaian musibah kebakaran yang melanda sejumlah permukiman warga. Dari pemantauan di berbagai lokasi kejadian, sebagian besar rumah yang terbakar merupakan rumah adat Batak yang telah berusia puluhan hingga ratusan tahun. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mendalam di tengah masyarakat, mengingat bangunan tradisional tersebut bukan sekadar tempat tinggal, melainkan bagian dari warisan budaya yang sangat berharga.

Rumah adat Batak secara umum dibangun menggunakan material kayu, mulai dari dinding hingga struktur utamanya. Seiring berjalannya waktu, material kayu tersebut mengalami pelapukan dan penurunan kualitas. Semakin tua usia bangunan, semakin rapuh pula strukturnya, sehingga mudah tersulut api meski hanya karena percikan kecil, korsleting listrik, atau kelalaian sehari-hari. Tak jarang, api yang mulai dari satu titik dapat menjalar cepat dan melahap seluruh bangunan dalam hitungan menit.

Warga mengaku semakin cemas melihat pola kebakaran yang berulang. “Rumah adat kami sudah banyak yang hilang. Kalau tidak ada penanganan cepat, habis semua peninggalan nenek moyang,” ujar seorang warga di kawasan Pangururan.

Masyarakat juga menyoroti minimnya upaya pencegahan teknis yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Hingga saat ini, dinas terkait belum melakukan penelitian mendalam mengenai metode pelestarian yang dapat mengurangi risiko kebakaran pada rumah adat Batak. Rencana penelitian tersebut sudah beberapa kali dibicarakan, namun belum ada tindak lanjut yang terlihat di lapangan.

Akibat absennya kajian teknis itu, program perlindungan rumah adat masih terbatas pada imbauan umum kepada masyarakat. Belum ada panduan resmi, solusi teknologi, maupun penyediaan bahan pelindung kayu yang tahan api. Padahal, banyak pihak berharap pemerintah dapat menyediakan langkah mitigasi, seperti penggunaan cairan atau bahan khusus yang dapat disemprotkan ke material kayu sebagai perlindungan tambahan terhadap api.

Sejumlah tokoh masyarakat Samosir menyampaikan bahwa mereka masih menunggu keseriusan pemerintah daerah untuk melakukan penelitian tersebut. “Kami bukan menuntut yang muluk-muluk. Setidaknya ada kajian, ada upaya. Rumah adat ini bukan hanya milik kami, tapi milik generasi mendatang,” ujar salah satu tokoh Saut limbong di Kecamatan Sianjur Mulamula.

Ia juga mengharapkan mobil pemadam kebakaran ada satu unit disetiap kecamatan kab samosir.

Ketiadaan penelitian juga membuat masyarakat kesulitan melakukan pencegahan mandiri. Tanpa panduan teknis, warga hanya mengandalkan pengetahuan tradisional serta perawatan sederhana, yang tidak cukup untuk menghadapi ancaman kebakaran yang besar dan cepat.

Selanjutnya Ia menilai bahwa kerusakan rumah adat Batak tidak sekadar kehilangan bangunan fisik, tetapi juga hilangnya identitas dan sejarah. Rumah adat menyimpan nilai arsitektur tradisional, simbol keluarga, hingga filosofi hidup suku Batak. Bila kebakaran terus berulang, dikhawatirkan hanya sedikit rumah adat yang akan tersisa dalam beberapa dekade ke depan.

Masyarakat berharap pemerintah daerah segera memastikan penelitian dapat dilaksanakan, sekaligus menghadirkan program nyata untuk menyelamatkan rumah adat Batak dari ancaman kebakaran berulang. Langkah tersebut dinilai mendesak, mengingat setiap kejadian kebakaran tidak hanya merugikan secara materi, tetapi juga mengikis kebanggaan budaya Samosir.

Untuk saat ini, warga hanya bisa memperkuat kewaspadaan dan memperbaiki instalasi listrik seadanya. Mereka tetap menunggu, berharap ada intervensi ilmiah dan kebijakan yang lebih kuat untuk melindungi warisan nenek moyang mereka dari bencana yang terus mengintai. ( Hors/dns)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *