Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com

Dentum gondang dan gemulai gerak tari tradisional menggema di tepian Danau Toba, tepatnya di Water Front Pangururan, Kabupaten Samosir. Ribuan pasang mata tertuju pada panggung yang dipenuhi warna-warni ulos. Di sanalah Pemerintah Kabupaten Samosir menggelar perayaan Hari Ulos Nasional, yang tahun ini dikemas dalam tajuk “Semarak Peradaban Batak: Merayakan Warisan, Menyatukan Generasi.” jumat ( 24/10).

Kegiatan yang diinisiasi Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Samosir ini menghadirkan lomba musik dan tari kreasi tradisional tingkat SD dan SMP antar-kecamatan. Sebanyak 360 peserta dari sembilan kecamatan tampil penuh semangat, memadukan kekuatan tradisi dan kreativitas generasi muda di atas satu panggung budaya.

Panggung Warisan dan Identitas

Dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati Samosir, Ariston Tua Sidauruk, acara tersebut menjadi lebih dari sekadar lomba seni. Ia menjelma menjadi ajang perayaan identitas dan kebanggaan etnis Batak, yang berakar kuat di tanah Samosir—daerah yang kerap disebut sebagai titik nol peradaban Batak.

“Kita ingin anak-anak SD dan SMP tetap mencintai budaya warisan leluhur. Walau merantau, jangan pernah lupa akan asal dan identitas sebagai orang Batak dari Samosir,” ujar Ariston dalam sambutannya, diiringi tepuk tangan meriah para hadirin.

Ariston menegaskan, ulos bukan hanya kain tradisional, tetapi simbol kasih sayang, penghormatan, dan kehangatan yang diwariskan antargenerasi.

“Budaya adalah keindahan yang dipertontonkan dengan seni dan perasaan. Saya mendukung penuh kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan terhadap seni dan budaya Batak,” tambahnya.

Kolaborasi Pendidikan dan Budaya

Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara kepala sekolah di seluruh kecamatan melalui forum Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S).
Sekretaris Disdikpora Kabupaten Samosir, Ronal Sinaga, menuturkan bahwa kegiatan ini menjadi langkah nyata dunia pendidikan dalam mempertahankan nilai-nilai budaya di tengah derasnya arus globalisasi.

“Samosir memiliki 195 sekolah dasar dan 34 SMP di 9 kecamatan. Masing-masing kecamatan mengirimkan perwakilan untuk mengikuti lomba ini. Ini bentuk kerja keras mempertahankan identitas budaya Batak di tengah perkembangan teknologi yang semakin maju,” jelas Ronal.

Ia menambahkan, kegiatan seni seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana pendidikan karakter bagi siswa agar mereka tumbuh dengan rasa bangga terhadap jati diri Batak.

Generasi Muda di Panggung Tradisi

Ketua Panitia, Eybarda Simbolon, menyebutkan bahwa kegiatan ini menjadi ruang ekspresi bagi pelajar untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam mengolah musik dan tari tradisional.

“Ada sembilan tim SMP yang tampil, masing-masing beranggotakan sekitar 20 orang. Total ada 360 peserta yang terlibat. Ini bagian dari program tahunan Disdikpora untuk memperkuat pemahaman seni dan musik tradisional di sekolah,” ujarnya.

Para peserta menampilkan harmoni alat musik gondang, gerak tari yang enerjik, serta ragam motif ulos yang melilit indah di tubuh mereka. Ulos bukan hanya kostum pertunjukan, melainkan simbol keterikatan dan kebersamaan yang menjadi inti dari budaya Batak.

Makna di Balik Ulos

Perayaan Hari Ulos Nasional di Samosir tak hanya memperingati warisan budaya, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur di tengah modernitas. Bagi masyarakat Batak, ulos adalah narasi hidup — setiap helainya menyimpan doa, kasih, dan filosofi tentang kehidupan yang seimbang antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Semarak perayaan ini memperlihatkan bahwa warisan budaya bukan sesuatu yang statis. Ia tumbuh dan bertransformasi bersama generasi muda yang kini mengambil peran sebagai penerus tradisi.

“Anak-anak ini adalah pewaris masa depan budaya Batak. Selama ulos masih dikenakan, gondang masih ditabuh, dan tari masih digerakkan, maka peradaban Batak akan terus hidup,” tutur salah satu guru pendamping, dengan mata berbinar.

Dengan gema musik tradisional yang berpadu dengan semangat muda, Samosir membuktikan diri sebagai jantung budaya Batak yang tetap berdenyut kuat di tengah zaman yang terus berubah. ( Hots)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *