Catatan Nahar Frusta

Dua puluh tahun lalu. Togar Krisman Simatupang dan Muhammad Ilham Tanjung segera keluar dari sungai sirahar menyelesaikan mandi mereka. Setelah bermain bola, mereka selalu mandi bersama. Shalawat dari masjid Al Mahligai sudah berkumandang pertanda waktu maghrib akan masuk.
“Olah dulu da Togar, barisok lai da. Akku nondak lokkeh ka musojid!”, Ilham pamitan pada Togar dan bergegas kerumahnya.
“Oloma Ham…Mangaji ho jolo, dongan. Marsogot muse ate.!”, jawab Togar dan mengambil jalan lain menuju rumahnya.
Kini. Persahabatan kedua anak ini masih terjaga dengan baik, walau mereka sudah tinggal berjauhan. Togar memilih merantau setelah menamatkan SMA, karena sulitnya kehidupan di desa. Apalagi Togar masih punya saudara 4 orang untuk dibiayai orangtuanya yang sintua dan petani penggarap (manyohe).
Sementara Ilham tinggal di desa karena tidak diberi kesempatan orangtuanya untuk merantau, karena Ilham anak satu satunya. Alhamdulillah saat ini bekerja sebagai aparat desa, nazir mesjid dan mengelola sawah orangtuanya.
Pagi ini mereka bertemu dalam sebuah acara pernikahan tetangga di desa. Satu hal yang tak bisa hilang adalah dialog mereka menggunakan dua bahasa–pesisir dan batak.
“Apo kabar ang Togar. Olah hebat bonar kinin he?”, tanya Ilham sambil menjabat erat tangan sahabat kecilnya.
“Baik dongan. Songoni ma. Dapot mangan, boi mulak tuhuta…hehe!”, sambut Togar dengan tawa lebar.
Mereka berdua bercerita ria, tentang keadaan sekarang, tentang hidup diperantauan dengan kultur dan keberagaman, tentang hidup didesa dengan penuh kedamaian. Menurut mereka sukses itu ukurannya bagaimana, menjalani dan menikmati hidup dengan rasa syukur.
Persahabatan, persaudaraan, teman masa kecil adalah perjalanan bersama dalam melewati hari hari yang penuh liku, tantangan dan hambatan, keberhasilan dan kesuksesan yang didapati masing masing tapi bisa dinikmati dalam kebersamaan.
Togar yang sudah sukses menjadi pengusaha muda dikota “P”, tak berminat untuk menjadi bupati didaerahnya. Capaian selama ini tak mau tergerus akibat salah nengambil kebijakan yang berujung penjara. Begitupun Ilham merasa bahagia walau hanya sebagai pengabdi ummat didesa, tanpa beban, tanpa pamrih, berdoa dan beribadah untuk ummatnya. “Ikhlas Saja,”, begitu perinsipnya.
“Untuk hidupku dan anakku, puji tuhan, sudah amanlah. Sekarang, bahagiakan orangtua yang paling utama. Ambisi kekuasaan dan kesombongan terhadap saudara kita, itulah yang harus dibakar.!”, demikian pesan orangtua Togar dan disampaikan kepada sahabatnya Ilham.
Mereka tidak menjaga persahabatan dan persaudaraan itu dengan bersifat basa basi, manis dibibir. Tapi mereka melaksanakan kebaikan dalam diri dan kehidupan ini sesuai kaidah agama yang dianut masing masing. Tanpa komando apalagi seleberasi dan “yel yel”.
Ternyata Togar dan Ilham masih bertahan dengan bahasa masing masing, saling mengerti, saling menjaga hati, tetap bersahabat, tetap bersaudara tanpa berseragam atau berubah menjadi orang lain.(***)