**EDITORIAL REDAKSI

Samosir. PRi.Com

Di Sumatera Utara, rakyat sedang menghadapi dua bencana:
bencana alam yang merusak rumah, dan bencana kelangkaan energi yang memutus denyut hidup mereka.
Di tengah lumpur banjir yang belum surut, ribuan warga kini juga harus tersandera oleh hilangnya BBM dari peredaran.

Pagi di SPBU Pangururan menjadi potret paling jujur tentang keadaan negara:
mobil antre diam tak bergerak, masyarakat menunggu yang tidak pasti, dan papan informasi kosong tanpa kejelasan suplai.

Di sela antrean, terdengar keluhan yang sama:

“Kami bukan minta banyak. Kami hanya minta negara bergerak selaju derita kami.”

Ini bukan teriakan politik. Ini adalah seruan bertahan hidup.

Keterlambatan yang Terlalu Mahal untuk Ditanggung Rakyat

Dalam situasi normal saja, kelangkaan BBM mampu melumpuhkan ekonomi daerah.
Apalagi ketika kondisi diperparah oleh banjir, longsor, lahan-lahan rusak, dan ratusan keluarga belum kembali ke rumah karena mengungsi.

Di tengah kondisi seperti ini, kelangkaan Pertalite dan Pertamax bukan sekadar soal energi.
Ia berubah menjadi:

penghambat evakuasi,

pemutus rantai logistik bantuan,

ancaman bagi keselamatan,

sekaligus pukulan keras bagi ekonomi rakyat kecil.

Lalu siapa yang paling terpukul?
Bukan pejabat, bukan pemilik modal, tetapi petani, buruh harian, pedagang kecil, pengojek, dan keluarga yang terjebak antara banjir dan antrean BBM.

Rakyat sudah terlalu sabar.
Namun sistem terlalu lambat.

Ketika Warga Bertanya, Sistem Tidak Menjawab

Sebagian warga mempertanyakan apakah mereka sedang berjalan tanpa kompas.
Bukan karena pemerintah tidak bekerja—tetapi karena hasil kerja itu tidak terasa hingga ke titik paling kritis di mana rakyat sedang menunggu.

Penanganan bencana mestinya segera diikuti:

penambahan suplai BBM ke titik krisis,

distribusi yang diprioritaskan untuk daerah terisolasi,

pengerahan sistem darurat logistik,

koordinasi lintas instansi yang lebih padat daripada jadwal rapat.

Namun yang terlihat justru jangka waktu tunggu yang terlalu panjang antara keputusan dan realisasi.
Dalam situasi bencana, keterlambatan lima jam pun dapat berbahaya—apalagi keterlambatan berhari-hari.

Krisis energi di tengah bencana bukan sekadar tanda lemahnya koordinasi,
namun juga sinyal bahwa mekanisme respons darurat belum bekerja seefektif yang diharapkan masyarakat.

Harapan Rakyat: Jangan Biarkan Kami Berjalan Sendiri

Rakyat Sumatera Utara tidak menuntut kesempurnaan.
Mereka hanya meminta negara bergerak setara dengan beratnya penderitaan mereka.

Banyak masyarakat yang mengatakan:

“Kami butuh pemerintah yang terlihat, bukan sekadar terdengar.”

Dan redaksi menilai itu tepat.
Dalam situasi darurat, kehadiran nyata jauh lebih penting daripada narasi kesiapsiagaan.

Rakyat menunggu:

BBM yang datang tepat waktu,

bantuan yang masuk hingga ke titik paling terpencil,

informasi yang jujur tentang pasokan,

langkah cepat yang tidak menunggu instruksi berlapis.

Negara tidak boleh membiarkan rakyat sekadar bertahan dengan kesabaran.
Kesabaran rakyat ada batasnya, dan batas itu sedang diuji hari demi hari.

Ketika Dua Krisis Bertemu, Negara Harus Dua Kali Lebih Sigap

Banjir dan kelangkaan BBM adalah kombinasi mematikan bagi ekonomi daerah.
Dan kedua bencana itu tidak boleh diselesaikan dengan kecepatan normal.
Ia membutuhkan kecepatan darurat, koordinasi darurat, dan suplai darurat.

Redaksi menegaskan:
Rakyat bukan meminta perlakuan istimewa.
Rakyat hanya meminta negara tidak kalah cepat dari bencana.

Di tengah semua keterbatasan, satu hal tetap pasti:

Rakyat sudah terlalu sering diuji ketangguhannya.
Sekarang giliran negara membuktikan ketangkasannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *