Sergai. PRi.Com
Warga Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) kini menghadapi dilema serius. Bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Pertamax tidak hanya langka, tetapi harganya di tingkat pengecer meroket, mencapai Rp25.000–30.000 per liter. Kondisi ini memicu dugaan praktik penimbunan oleh oknum pedagang dan perlunya penertiban tegas dari aparat penegak hukum.

Menurut pantauan tim media, BBM untuk kebutuhan harian masyarakat hampir tidak tersedia di pedagang eceran lokal, sementara di SPBU, warga harus mengantri berjam-jam. Banjir yang masih melanda beberapa desa memperparah akses warga ke SPBU, sehingga ketergantungan pada pedagang eceran makin tinggi.

“Sepeda motor saya sudah empat hari tidak bisa jalan karena tidak ada Pertalite di pedagang. Jalanan desa masih terendam banjir, sehingga sulit ke SPBU. Kami minta aparat turun menertibkan pedagang eceran,” ujar Arifin Rangkuti, warga Desa Pekan Tanjung Beringin, Kecamatan Tanjung Beringin, Kamis (4/12/2025).

Harga Naik, Dugaan Penimbunan Menguat

Edwin dari Desa Sialang Buah dan Surya Marantika dari Kecamatan Bandar Khalipah melaporkan harga Pertalite mencapai Rp25.000–30.000 per liter, jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah oknum pedagang sengaja menahan stok untuk menaikkan harga?

Wakil Ketua Umum ALISSS (Aliansi Peduli Bersama Masyarakat Indonesia), Jalaludin, menegaskan bahwa penjualan BBM di atas HET oleh pedagang eceran tanpa izin resmi melanggar hukum. “Pedagang eceran harus memiliki izin. Menjual di atas harga yang ditetapkan bisa dijerat pidana hingga enam tahun dan denda maksimal Rp60 miliar,” tegasnya.

Ketentuan ini sesuai dengan:

UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 53 dan 55.

Perpres Nomor 191 Tahun 2014, terakhir diubah dengan Perpres Nomor 117 Tahun 2021, yang menetapkan HET BBM jenis Pertalite dan Pertamax.

Keterlibatan Aparat dan Pemerintah Daerah Dibutuhkan

Jalaludin menekankan bahwa Pemkab Sergai dan kepolisian wajib menertibkan pedagang eceran dan memantau rantai distribusi BBM, agar tidak terjadi praktik penimbunan. “Ini bukan sekadar persoalan harga. Jika dibiarkan, akan berdampak pada mobilitas, ekonomi, dan ketahanan warga yang terdampak banjir,” ujarnya.

Tim investigasi media mencatat beberapa hal yang patut dicermati:

  1. Distribusi Tidak Merata – BBM tersedia di beberapa SPBU tertentu, sementara desa terpencil harus mengantri lama.
  2. Harga Eceran Melambung – Penjualan di atas HET oleh pedagang lokal menciptakan ketidakadilan ekonomi.
  3. Potensi Penimbunan – Harga tinggi dan kelangkaan serentak mengindikasikan ada oknum yang menahan stok untuk keuntungan pribadi.
  4. Efek Sosial – Kesulitan mendapatkan BBM menghambat transportasi, kebutuhan sehari-hari, dan pemulihan pasca-bencana banjir.

Kesimpulan Awal

Kelangkaan dan lonjakan harga BBM jenis Pertalite dan Pertamax di Sergai bukan sekadar masalah pasokan, melainkan potensi praktek distribusi ilegal dan penimbunan oleh pedagang eceran. Aparat hukum dan pemerintah daerah perlu menindak tegas untuk memastikan BBM tersedia merata, harga sesuai HET, dan warga terdampak bencana tidak terus menanggung kerugian akibat kelalaian pengawasan distribusi. ( hots/zul )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *