
Samosir. PRi. Com
Pemerintah Kabupaten Samosir mengirim pesan keras ke seluruh pihak yang selama ini menjadikan lingkungan sebagai “ruang negosiasi.” Melalui Surat Edaran (SE) Nomor 23 Tahun 2025, Bupati Vandiko T. Gultom menegaskan larangan menerima bantuan atau CSR dari perusahaan yang kegiatannya berpotensi merusak lingkungan. Langkah ini dianggap sebagai salah satu keputusan paling berani yang pernah dikeluarkan pemerintah daerah di kawasan Danau Toba.
Kebijakan tersebut sontak mengguncang percakapan publik, terutama karena disebut menyasar perusahaan-perusahaan yang selama ini kerap jadi sorotan masyarakat dalam isu keberlanjutan lingkungan.
SE yang Tidak Basa-Basi
Tidak seperti banyak surat edaran daerah lainnya yang kerap berhenti sebagai formalitas, SE No. 23/2025 menembakkan tiga instruksi yang terasa seperti peringatan keras:
- Pemerintah tidak boleh memberi rekomendasi pada kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan.
Istilah “berpotensi” memberi ruang kewaspadaan dini. Pemerintah tidak menunggu kerusakan terjadi, tetapi bergerak sebelum itu muncul.
- Semua bentuk CSR dari perusahaan yang memiliki potensi eksploitasi lingkungan — termasuk yang selama ini diperdebatkan publik — ditolak.
Dalam konteks ini, Bupati secara terbuka menyebut bahwa kebijakan mencakup perusahaan seperti PT Toba Pulp Lestari (TPL), TPK, dan PT Aquafarm Nusantara.
Keputusan ini tidak biasa. Di banyak daerah, CSR sering dijadikan “pelumas” hubungan pemerintah–korporasi.
- Pemerintah membuka kanal pengaduan masyarakat dan berkomitmen menindaklanjuti.
Artinya, posisi pemerintah jelas: berpihak pada warga, bukan pada kepentingan jangka pendek perusahaan.
Media Lokal: “Akhirnya Ada Kepala Daerah yang Berani Berkata Tidak”
Respon keras namun positif datang dari insan media.
Boris Situmorang, SH, mewakili sejumlah wartawan di Pangururan, menyatakan kebijakan Bupati sejalan dengan prinsip menjaga harmoni sosial dan nilai Dalihan Natolu.
“Ini keberanian yang jarang kita lihat. Bupati mengambil posisi tegas dan media mendukung penuh. Jangan sampai lingkungan jadi bahan barter,” kata Boris.
Ia menambahkan, pers Samosir tetap konsisten menolak segala bentuk aktivitas pengerukan alam, termasuk praktik galian C yang banyak dikeluhkan warga.
Sinyal Politik Lingkungan: Pemerintah Tak Mau Jadi Sandera CSR
Banyak kepala daerah memilih jalan aman: dekat dengan perusahaan besar demi pemasukan dan bantuan. Namun langkah Samosir justru berkebalikan.
Kebijakan ini menyiratkan tiga hal penting:
- Pemerintah ingin menjaga independensi dari tekanan korporasi.
- Lingkungan tidak boleh jadi objek tawar-menawar politik anggaran.
- CSR tidak bisa menjadi pintu masuk pembenaran eksploitasi.
Para pengamat kebijakan publik menilai keputusan ini seperti “mematikan lampu merah” bagi perusahaan yang berharap memperoleh legitimasi melalui bantuan sosial.
Harapan Publik: Setelah Surat Edaran, Giliran Pengawasan Nyata
Meski disambut antusias, masyarakat menunggu apakah instansi pemerintah benar-benar berani menolak CSR yang selama ini menjadi sumber kegiatan publik.
Harapan warga jelas:
Ada pengawasan ketat terhadap perusahaan yang beroperasi di sekitar Danau Toba,
Tidak ada lagi konflik kepentingan antara pejabat dan pelaku usaha,
Pemerintah desa tidak merasa tertekan menerima bantuan dari pihak mana pun.
Sikap Bupati membuka pintu bahwa Samosir ingin keluar dari bayang-bayang politik ekonomi yang menempatkan lingkungan sebagai korban pertama.
Penegasan: Lingkungan Adalah Titik Akhir, Bukan Titik Negosiasi
Dengan SE No. 23 Tahun 2025, Pemkab Samosir mengirim sinyal keras bahwa masa ketika CSR digunakan sebagai dalih aktivitas yang menimbulkan kekhawatiran publik telah lewat.
Bupati memilih jalan yang tidak populer tetapi diperlukan:
memutus kemungkinan ketergantungan pada perusahaan yang aktivitasnya dinilai berpotensi mengganggu kelestarian Samosir.
Keputusan ini bukan hanya soal administrasi, tetapi soal keberanian politik untuk berkata:
“Tidak semua bantuan pantas diterima. Ada harga yang terlalu mahal kalau yang dikorbankan adalah lingkungan. ( Hots)