Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com

Situasi desa-desa di Kabupaten Samosir memasuki fase kritis. Tim wartawan yang turun dari Pangururan, Selasa (2/12/2025), menemukan fakta lapangan yang jauh lebih keras dibanding laporan awal: anggaran desa belum cair sekitar 60%, namun desa tetap melaksanakan menjalankan program tanpa penopang dana.

Hasil penelusuran memperlihatkan bahwa perangkat desa kini bekerja di antara tuntutan administrasi, tekanan pelayanan masyarakat, dan aturan yang belum sepenuhnya mereka pahami.

Palipi: Pembahasan Panjang, Jawaban Masih Tersangkut di Meja

Di Kecamatan Palipi, tim wartawan bertemu pejabat PMD, Manik. Pertemuan berlangsung alot, membicarakan:

keterlambatan pencairan anggaran,

persoalan administrasi desa,

dan tekanan yang dirasakan perangkat desa akibat program yang terus berjalan.

Manik mengatakan seluruh poin pertemuan akan “diatensi”, namun tidak ada data detail yang dapat disampaikan saat itu. Pejabat kecamatan berjanji akan menyiapkan laporan tertulis dalam 10 hari, sementara camat dan sekretaris sedang bertugas di luar daerah.

Tim wartawan menilai transparansi masih kabur dan penjelasan teknis belum terlihat.

Nainggolan: Program Jalan, Dana Tidak

Di Kecamatan Nainggolan, nada kecemasan terdengar lebih keras. Seorang kepala desa mengungkap bahwa anggaran belum cair sekitar 60%, tetapi:

honor tutor desa tetap harus dibayarkan,

kegiatan wajib sudah berjalan,

operasional tetap dituntut tidak berhenti.

“Kegiatannya wajib jalan. Tapi dananya tidak datang. Kami ini bingung—bahkan putus asa,” ujar seorang kepala desa.

Beberapa kepala desa menyebut bahwa mereka mendengar adanya aturan pusat yang mengharuskan:

persentase realisasi tertentu,

kelengkapan administrasi desa dan kabupaten,

serta verifikasi bertingkat,

sebelum anggaran berikutnya bisa dicairkan.

Namun mereka juga menegaskan:
“Kami tidak pernah menerima penjelasan rinci dari kabupaten tentang bagaimana aturan itu bekerja.”

Aturan yang Diduga Menahan Dana

Menurut keterangan para perangkat desa, regulasi yang mereka dengar terkait dengan:

kewajiban penyerapan tahap sebelumnya,

kewajiban laporan SPJ dan verifikasi berjenjang,

pemeriksaan kelengkapan dokumen,

dan batasan pencairan yang hanya dapat dilakukan jika syarat administrasi tertentu terpenuhi.

Semua ini disebut sebagai “aturan pusat”, tetapi desa tidak mendapatkan edukasi teknis, sementara kabupaten belum memberi penjelasan resmi terkait keterlambatan pencairan tahap berikutnya.

Dengan kata lain:
Desa dibebani kewajiban menjalankan program, tetapi tidak dibekali data untuk memahami kenapa dana tidak turun.

Menjelang Natal: Tekanan Berlipat

Situasi diperparah oleh tekanan ekonomi jelang Natal dan Tahun Baru. Harga kebutuhan melonjak, tetapi honor tutor desa dan dana kegiatan belum jelas pembayarannya.

“Kalau terus begini, desa dipaksa bertahan dengan napas terakhir,” ujar seorang perangkat desa.

Warga membutuhkan pelayanan, perangkat desa membutuhkan kepastian, tetapi anggaran tetap menggantung.

Pertanyaan Besar yang Belum Dijawab Pemerintah Kabupaten

Temuan lapangan meninggalkan sejumlah pertanyaan mendesak:

  1. Apa penyebab teknis keterlambatan pencairan 60% anggaran desa?
  2. Regulasi pusat apa yang menjadi dasar pembatasan pencairan—dan mengapa desa tidak diberi penjelasan resmi?
  3. Jika administrasi menjadi kendala, apa langkah kabupaten membantu desa menyelesaikannya?
  4. Mengapa program desa dibiarkan berjalan tanpa dukungan dana yang semestinya?
  5. Apa solusi darurat untuk pembayaran honor dan operasional yang sudah terlanjur berjalan?

Hingga berita ini diterbitkan, pemerintah kabupaten belum memberikan klarifikasi tertulis.

Investigasi Lanjut: Menunggu Batas 10 Hari

Tim wartawan akan kembali turun setelah batas waktu 10 hari yang telah diminta kepada kecamatan. Desa-desa kini berada dalam posisi paling lemah: dituntut bekerja penuh, tetapi ditopang anggaran yang tidak bisa disentuh.

Investigasi belum selesai. ( Hots )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *