
Advertorial– Edisi Khusus Sejarah & Pelayanan Kesehatan Samosir
Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com
Di tengah hamparan perbukitan dan udara sejuk Samosir, berdiri sebuah institusi yang menjadi saksi perjalanan panjang pelayanan kesehatan di Tanah Batak: Rumah Sakit Umum HKBP Nainggolan. Hampir satu abad keberadaannya telah mengisahkan dedikasi, pengorbanan, kesetiaan, sekaligus dinamika yang membentuk identitasnya hingga hari ini.
Melalui wawancara mendalam antara seorang mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) Medan dengan Hotman Siagian, mantan pegawai senior yang mengabdi puluhan tahun hingga pensiun pada 2022, terbuka kembali lembar-lembar sejarah yang sempat dilupakan publik.
Advertorial ini mengajak pembaca menyelami jejak panjang rumah sakit legendaris ini—dari masa kolonial hingga tantangan modern—seraya menelisik peluang kebangkitan baru yang kini terbentang di depannya.
Bab 1 – Fondasi Kolonial yang Menjadi Titik Awal Pelayanan
Pada tahun 1936, Nainggolan bukanlah kawasan ramai seperti saat ini. Infrastruktur terbatas, akses kesehatan minim, dan masyarakat mengandalkan pengobatan tradisional sebagai pilihan utama. Di masa seperti itulah pemerintah kolonial Belanda menghadirkan balai pengobatan zending, cikal bakal RSU HKBP Nainggolan.
“Dulu bukan rumah sakit, hanya balai kecil untuk pelayanan dasar,” tutur Hotman Siagian.
Balai tersebut menjadi bagian dari misi zending yang tidak hanya membawa agama, tetapi juga pendidikan dan kesehatan. Tokoh-tokoh seperti Pdt. Johannes Warneck dipercaya memimpin penyebaran pelayanan ini ke berbagai pelosok Samosir.
Seiring waktu, balai ini berkembang menjadi pusat pertolongan pertama di daerah Nainggolan, menjadi tempat masyarakat mencari harapan ketika penyakit datang secara tiba-tiba.
Bab 2 – Masa Keemasan 1970–1983: Saat Nainggolan Menjadi Magnet Kesehatan
Dalam sejarah panjangnya, RSU HKBP Nainggolan mengenal sebuah masa yang disebut para pegawai senior sebagai Era Keemasan. Masa itu hadir di bawah kepemimpinan DR. T.D. Pardede, seorang tokoh nasional yang ikut mendorong kemajuan sektor kesehatan di Sumatera Utara.
Pada periode 1970–1983, rumah sakit ini mengecap kemajuan signifikan:
Fasilitas mulai diperbarui.
Sarana pelayanan meningkat tajam.
Memiliki transpotasi darat satu unit mobil roda empat Land Cruiser 4×4.
Memiliki kenderaan roda dua.
Memiliki satu unit speboot sebagai transportasi danau.
Memiliki satu unit rongsen untuk poto.
Memiliki satu unit mesin pembangkit listrik untuk peneranga.
Komunikasi dengan Kementerian Kesehatan berjalan aktif.
Informasi medis terkini dikirim secara rutin setiap minggu.
“Itu masa kejayaan… Rumah sakit kita pernah menjadi salah satu yang terbaik di sekitar Danau Toba,” kenang Hotman bangga.
Pada periode ini pula, RSU HKBP Nainggolan menjadi rumah sakit rujukan masyarakat dari berbagai kecamatan: Onan Runggu, Palipi, Harian, bahkan sebagian Pangururan.
Bab 3 – Ketika Langit Menggelap: Krisis 1984–1986
Namun tidak semua perjalanan berlangsung mulus. Memasuki tahun 1984, dukungan pendanaan dari pihak yang selama ini menopang operasional terhenti mendadak. Dampaknya terasa di setiap sudut rumah sakit:
Gaji pegawai mengalami keterlambatan berkepanjangan.
Fasilitas menua dan tidak terurus.
Obat-obatan tidak lagi lengkap.
Banyak pegawai harus berhenti karena tekanan ekonomi.
Operasional berjalan di titik paling minimal.
“Benar-benar masa tersuram. Rumah sakit seperti kehilangan nyawa,” ungkap Hotman lirih.
Bagi banyak pegawai kala itu, RSU HKBP Nainggolan seperti sebuah kapal tua yang berjuang melawan badai besar tanpa kompas.
Bab 4 – Tahun 1987: Tahun Kebangkitan Melalui Sending HKBP
Ketika hampir semua harapan pupus, muncul secercah cahaya. Tumpak Siagian, Kepala Tata Usaha pada masa itu, mengambil langkah tak biasa: mencari bantuan keluar wilayah.
Setelah beberapa pintu tertutup, akhirnya HKBP Pearaja Tarutung melalui sending menerima permohonan itu.
Tahun 1987 menjadi titik balik penting. Rumah sakit resmi masuk ke dalam pembinaan pelayanan Sending HKBP, yang mengembalikan stabilitas operasional dan semangat kerja para pegawai.
“Itu adalah tahun kebangkitan. Tanpa Sending HKBP, mungkin rumah sakit ini sudah tinggal kenangan,” tegas Hotman.
Bab 5 – Pengabdian Mengalir hingga ke Pekan dan Rumah-Rumah Warga
Salah satu kekuatan terbesar RSU HKBP Nainggolan bukan hanya fasilitasnya, tetapi pengabdian para tenaga medis.
Setelah dikelola sending HKBP pelayanan kembali aktif. RS. HKBP Balige kembali mengutus para dokter dan tenaga medis keperawatan ke RS. HKBP Nainggolan. Ada dokter Naiborhu, dokter Parlin Sitorus dan Harry Siagian dari manejemen administrasi bidang peningkatan pelayanan.
Setiap hari pekan (onan) di Lumban Buntu Sipira—Onan Runggu, dipimpin dr. Br. Silitonga dengan kenderaan mobil ambulance tua tim medis turun langsung memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Pada masa itu jln belum bagus ketika hujan turun kadang terpuruk dan tiba di RS HKBP Nainggolan berlumpur dan baju dinas berganti warna.
Dalam masa pimpinan dr. Br. Silitonga, tenaga medis bekerja hingga malam bila ada panggilan darurat dari rumah warga.
“Kalau ada warga sakit, entah jam berapa pun, kami datang. Pelayanan itu tidak bisa dibuat-buat,” ujar Hotman.
Sosok legendaris lainnya adalah Prof. dr. Somuntul Parhusip, ahli paru yang rutin datang sebulan sekali sejak 1980-an hingga 2014 untuk memberikan pemeriksaan gratis kepada masyarakat.
Bab 6 – Tantangan Baru: Ketika Rumah Sakit Tidak Masuk BPJS
Setelah 2014, RSU HKBP Nainggolan menghadapi tantangan modern yang tidak kalah pelik: rumah sakit tidak bergabung dalam program BPJS Kesehatan.
Konsekuensinya sangat besar:
Pasien beralih ke fasilitas yang ditanggung BPJS.
Pendapatan rumah sakit menurun tajam.
Modernisasi fasilitas menjadi terhambat.
Sebagian alat medis menua dan tidak lagi memenuhi standar pelayanan.
Namun di tengah tantangan itu, RSU HKBP Nainggolan tetap menjadi pilihan masyarakat yang mengutamakan kedekatan emosional dan pelayanan humanis.
Bab 7 – Lahan Harapan: ½ Hektar untuk Masa Depan Baru
Di sisi timur gedung utama rumah sakit, terbentang lahan kosong seluas setengah hektar. Lahan ini bukan sekadar tanah kosong—tetapi ruang yang sejak dulu diproyeksikan sebagai area pengembangan.
“Lahan itu adalah simbol harapan. Kalau dimanfaatkan, RS ini bisa menjadi pusat pelayanan yang modern,” ujar Hotman.
Potensi pengembangan ini membuka peluang bagi:
Pembangunan gedung baru,
Penambahan fasilitas rawat inap,
Pengembangan layanan spesialis,
Hingga kerjasama dengan institusi pendidikan dan mitra kesehatan.
Bab 8 – Menjaga Arsip, Menghormati Pengabdian
Wawancara yang dilakukan mahasiswa USU ini menjadi bagian dari riset sejarah medis di Samosir. Bagi Hotman, dokumentasi seperti ini sangat penting.
“Sejarah rumah sakit ini penuh perjuangan. Banyak orang bekerja bukan untuk gaji, tapi untuk pelayanan. Kita tidak boleh membiarkan sejarah itu hilang.”
RSU HKBP Nainggolan bukan sekadar bangunan; ia adalah monumen dedikasi, saksi kesetiaan para pelayan kesehatan, dan bagian tak terpisahkan dari memori kolektif masyarakat Nainggolan.
Penutup — RSU HKBP Nainggolan: Menjadi Cahaya di Masa Lalu, Menanti Cahaya Baru di Masa Depan
Perjalanan rumah sakit ini adalah perjalanan panjang tentang keberanian, pengorbanan, krisis, kebangkitan, dan harapan. Di era modern yang membutuhkan pelayanan kesehatan berkualitas, keberadaan RSU HKBP Nainggolan tetap relevan.
Di balik bangunan yang sederhana, terdapat cerita yang tak sederhana: cerita tentang orang-orang yang setia melayani dengan sepenuh hati.
Dengan potensi pengembangan yang tersedia dan dukungan masyarakat serta lembaga terkait, masa depan RSU HKBP Nainggolan bukan hanya mungkin—tetapi layak untuk diperjuangkan. ( Hots)