
Samosir – PRESTASIREFORMASI
Pagi Senin, 1 Desember 2025, kedai kopi kecil di Simpang Tanah Lapang, Nainggolan, tampak lebih ramai dari pada pasar tradisional yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari sana. Di meja-meja sederhana kedai itu, suara gelas beradu pelan dengan nada percakapan warga yang sedang menumpahkan kegelisahan.
Satu topik mencuat dan mendominasi: onan Nainggolan yang sepi berbulan-bulan, kondisi yang belum pernah terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Fenomena ini mendorong tim redaksi melakukan penelusuran mendalam—melibatkan observasi lapangan, wawancara dengan warga, petani, pedagang, serta pengusaha lokal—untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada denyut ekonomi Nainggolan.
Onan yang Tak Lagi Riuh: Tanda Awal Kemerosotan Ekonomi
Beberapa pedagang yang biasanya membuka lapak sejak pagi kini memilih tidak datang. Mereka khawatir membawa dagangan tetapi akhirnya tak ada pembeli.
“Bukan sekali dua kali. Ini sudah berbulan-bulan,” ujar Pak Regar, warga Kecamatan Nainggolan, saat ditemui di kedai kopi pagi itu.
“Kalau rakyat tak punya pendapatan, bagaimana mau ke onan? Ekonomi terpukul drastis.”
Dari pantauan lapangan, hanya sekitar 30–40 persen pedagang yang hadir dibanding hari-hari normal. Aktivitas tawar-menawar yang biasanya ramai kini terdengar sayup, bahkan beberapa kios sayur dan kebutuhan pokok menutup lebih cepat karena sepi pembeli.
Kemarau Panjang: Pukulan Terbesar bagi Petani
Sumber utama ekonomi masyarakat Nainggolan adalah pertanian. Namun tahun ini, sektor tersebut mengalami shock besar. Wawancara dengan sejumlah petani mengungkap bahwa kemarau panjang selama beberapa bulan membuat sebagian besar tanaman—khususnya jagung—mengalami gagal panen.
“Jagung kami mati pucuk. Baru setengah tumbuh, langsung mengerdil. Tanah terlalu kering, pupuk tak bekerja optimal,” ungkap seorang petani di Lumban Buntu.
Di beberapa lahan, tanaman tidak hanya gagal, tapi benar-benar tidak dapat diselamatkan.
Kerugian petani diperkirakan mencapai 50–70% dari pendapatan bulanan, menurut pengakuan kelompok tani lokal.
Tim redaksi menemukan sejumlah faktor pendukung:
Debit air irigasi turun drastis
Embun malam tidak cukup untuk menyokong kelembaban
Siklus tanam banyak yang gagal dua kali
Biaya produksi naik, pendapatan turun
Bagi masyarakat yang bergantung pada hasil panen harian, kehilangan dua kali musim tanam sama saja dengan kehilangan tabungan setahun penuh.
Pelaku Usaha Lokal Ikut Terpukul
Tak hanya petani. Wawancara dengan beberapa pelaku usaha yang biasanya mendapat pekerjaan melalui kemitraan atau kegiatan pembangunan menunjukkan penurunan aktivitas signifikan.
“Biasanya dua-tiga kegiatan setahun masih ada. Sekarang sepi. Tidak ada pergerakan,” ujar salah satu pengusaha lokal yang enggan disebut namanya.
Konsekuensinya berantai:
pekerja harian lepas tidak mendapat upah,
transaksi bahan bangunan menurun,
perputaran uang di warung dan toko ikut melambat,
aktivitas transportasi desa menyusut.
Dari observasi di beberapa persimpangan utama Nainggolan, lalu lintas kendaraan pengangkut barang pun terlihat jauh lebih sedikit.
Dampak Psikologis: Kekhawatiran Menyambut Natal
Menjelang Natal, tekanan mental keluarga semakin terasa. Tradisi membeli baju baru untuk anak-anak menjadi simbol sederhana kebahagiaan tahunan. Namun tahun ini, banyak orang tua kebingungan.
“Anak-anak biasanya minta baju baru. Mereka bilang, setahun sekali saja. Wajar memang, tapi bagaimana kami mau penuhi kalau ekonomi sedang jatuh?” ucap Pak Regar dengan nada getir.
Di beberapa rumah yang tim redaksi kunjungi, sudah terlihat tanda-tanda penghematan ketat:
belanja harian lebih sedikit,
lauk diganti sayur seadanya,
sebagian keluarga menyisihkan uang receh untuk kebutuhan Natal.
Meski tidak ada yang mengeluh keras, kesenyapan obrolan keluarga mencerminkan kecemasan yang sama:
Natal mungkin tetap datang, tapi perayaannya belum tentu sama.
Mengapa Ekonomi Desa Bisa Stagnan?
Dari rangkaian observasi dan analisis, terdapat empat simpul masalah utama yang membuat ekonomi Nainggolan tersendat:
- Gagal panen akibat cuaca ekstrem
– Menurunkan daya beli masyarakat secara drastis. - Minim aktivitas usaha dan kemitraan
– Mengurangi perputaran uang lokal. - Ketergantungan pada satu sektor utama (pertanian)
– Ketika sektor ini runtuh, hampir semua ikut terdampak. - Belum adanya pemulihan ekonomi yang signifikan
– Aktivitas desa belum kembali pada ritme normal.
Sebagai laporan investigatif, data ini dikumpulkan melalui wawancara langsung dan pengamatan lapangan. Tidak ada kesimpulan yang menyalahkan pihak mana pun; kondisi ini merupakan hasil kombinasi faktor lingkungan, ekonomi, dan siklus kegiatan masyarakat.
Harapan Warga: Gerakan Ekonomi yang Menyentuh Akar Rumput
Warga Nainggolan tidak menuntut yang muluk. Mereka hanya berharap ada trigger yang mampu menggerakkan kembali roda ekonomi desa.
“Yang kami butuhkan itu aktivitas. Ada gerakan yang membuat masyarakat bisa kerja lagi,” kata Pak Regar.
Sejumlah warga mengusulkan:
penguatan irigasi dan bantuan benih untuk musim tanam berikutnya,
kegiatan padat karya yang melibatkan warga,
pelatihan usaha kecil,
penataan ulang pasar agar lebih menarik pembeli,
dan dukungan akses modal UMKM.
Keinginan warga ini mencerminkan harapan sederhana namun realistis:
agar kehidupan di Nainggolan kembali berdenyut seiring datangnya tahun baru.
Penutup: Suara dari Sebuah Kedai Kopi
Laporan ini dimulai dari sebuah kedai kopi pagi hari—tempat warga menumpahkan keresahan tanpa marah-marah, tanpa menyalahkan siapa-siapa, hanya mencoba memahami nasib mereka sendiri.
Dari kedai kecil itu, terbaca satu pesan yang paling kuat:
“Kami tidak meminta banyak. Kami hanya ingin Nainggolan hidup kembali.”
Dan di tengah aroma kopi yang mulai mendingin, harapan itu terasa lebih hangat dari pada pagi yang mendung di Tanah Lapang. (Hots)