Jakarta, PRESTASIREFORMASI.Com — Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid kritik sikap Menko Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan peristiwa 98 bukan pelanggaran HAM berat.
Menurut Usman Hamid pernyataan Yusril tentang hak asasi manusia (HAM) tersebut sangat keliru dan tidak sepantasnya pejabat pemerintah memberikan pernyataan demikian.
Bahkan, sikap Yusril bisa menjadi sinyal buruk pemerintahan baru yang dapat mengaburkan tanggung jawab negara, terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Mengingat jabatan Yusril saat ini sebagai pemimpin dalam bidang yang mengurusi legislasi bidang HAM.
“Itu tidak mencerminkan pemahaman undang-undang yang benar, khususnya pengertian pelanggaran HAM yang berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM,” ungkap Usman dikutip dari amnesty.id.
Usman menyebutkan bahwa pernyataan Yusril tersebut tidak memperhatikan laporan-laporan resmi dari tim gabungan yang dibentuk pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM terkait berbagai peristiwa di masa lalu.
Pasalnya hasil dari laporan tim gabungan menyatakan adanya pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity
“Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis,” kata Usman.
Menurut Usman, berdasarkan hukum internasional setidaknya ada empat kejahatan paling serius, yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi, sebagaimana diatur oleh Pasal 51 Statuta Roma.
Hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut juga sudah diserahkan ke Jaksa Agung.
Oleh karena itu, sudah menjadi fakta awal hukum yang tidak bisa dibantah, kecuali oleh peradilan yang fair dan adil.
“Setidaknya oleh pengadilan ad hoc yang memeriksa pelanggaran HAM yang berat masa lalu tersebut,” papar Usman.
“Sayangnya, tak kunjung ada usul DPR dan keputusan Presiden, sesuai Pasal 43 UU Pengadilan HAM,” jelasnya.
oleh karena itu, Usman menilai pernyataan Yusril sangat keliru secara historis dan hukum.
Namun tak hanya itu, sikap Yusril tersebut juga menunjukkan sikap nir empati pada korban dan keluarga korban yang mengalami peristiwa maupun yang bertahun-tahun mendesak negara agar menegakkan hukum.
Diketahui Tragedi Mei 1998 salah satu tragedi kelam yang dialami Indonesia hingga menyisakan luka mendalam para korban dan keluarganya.
Kekerasan massal, pemerkosaan, dan pembunuhan yang menargetkan kelompok etnis tertentu, khususnya komunitas Tionghoa terjadi brutal pada masa itu.
Usman pun menyatakan bahwa pernyataan Yusril menjadi sinyal buruk pemerintahan baru yang dapat mengaburkan tanggung jawab negara, terutama pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Pemerintahan yang lama juga pernah menyangkal, meski akhirnya mau mengakui 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk Tragedi Mei 98,” sambungnya.
Menurut Usman kewenangan penggolongan peristiwa menurut sifat dan lingkupnya sesuai Undang-Undang, dilakukan bukan oleh presiden apalagi menteri.
Melainkan dilakukan seharusnya oleh pengadilan HAM, setidaknya ditentukan pertama kali oleh Komnas HAM.
“Komnas pun harus membantah pernyataan Yusril dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 98, hingga tuntas,” pungkasnya. (h/SiHar)