Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) meminta pemerintah segera menerbitkan aturan yang membatasi penggunaan vape atau rokok elektrik. Karena jika tidak, vape bakal menjadi “bom waktu masalah kesehatan” dalam 10 atau 15 tahun mendatang.
Ketua PDPI, Prof DR Dr Agus Dwi Susanto, mendasarkan argumentasinya pada prevalensi perokok elektrik di Indonesia yang didominasi usia remaja dan jumlahnya meningkat hampir 10 kali lipat dibanding tahun 2011 silam.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan aturan yang membatasi konsumsi rokok elektrik sedang dalam harmonisasi antar-kementerian dan akan dituangkan dalam turunan UU nomor 17 Tahun 2023.
Nadia berkata, peraturan tersebut “harusnya selesai dalam jangka waktu dekat.”
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, berharap nantinya aturan soal rokok elektrik disamakan dengan rokok konvensional, seperti kawasan tanpa rokok elektrik, pencantuman gambar peringatan bahaya rokok elektrik, dan pengendalian iklan.
Mengapa pengguna rokok elektrik di Indonesia makin tinggi?
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, menyebut angka perokok elektrik di Indonesia “meningkat pesat”.
Merujuk pada Global Youth Tobacco Survey pada 2011, persentase pengguna rokok elektrik tercatat 0,3%. Kemudian pada 2018, persentasenya melonjak hingga 10,9%.
Pada 2021, berdasarkan Global Adult Tobacco Survey, jumlah perokok elektrik -yang didominasi usia 15 tahun ke atas – naik menjadi 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
“Kalau pada remaja dengan usia 10-18 tahun, angka perokok elektrik di Indonesia juga meningkat hampir 10 kali lipat dalam dua tahun dari 2016-2018,” imbuhnya dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Selasa (09/01).
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, menilai terus naiknya angka perokok elektrik di Indonesia dikarenakan tak adanya edukasi dan regulasi yang mengatur.
Sementara iklan rokok elektrik sangat bebas terlihat di media sosial Facebook, Instagram, dan YouTube.
“Jadi naiknya gila-gilaan dan mengerikan. Sekarang remaja menganggapnya vape lebih aman, padahal kata siapa aman?” katanya dengan nada kesal.
Dokter Spesialis Paru di RSUP Persahabatan, Agus Dwi Susanto, sepakat.
Ia berkata sebanyak 57% masyarakat Indonesia mengaku pernah mendengar tentang rokok elektrik – berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey tahun 2021.
Dari situ, sebanyak 11,9% menyatakan pernah menggunakan rokok elektrik dan 3,0% aktif memakai rokok elektrik.
Alasan mengonsumsi rokok elektrik ada beberapa.
Di antaranya karena menganggap kadar nikotin lebih rendah dari rokok konvensional, ada rasa, dapat menggunakan trik asap, dan mengikuti tren.
Hal lain, karena rokok elektrik dinilai tidak adiktif dibanding rokok konvensional, tidak menyebabkan kanker, dan ada izin dari orang tua.
“Kalau rokok elektrik tidak adiktif dan tidak menyebabkan kanker, ini persepsi yang salah,” tegasnya.
Apa fakta rokok elektrik?
Dokter Agus Dwi Susanto mengatakan rokok elektrik dan rokok tembakau sama-sama ada nikotinnya.
Nikotin yang terkandung dalam rokok elektrik mencapai 90%. Meskipun diakuinya ada beberapa jenis rokok elektrik yang tidak ada kandungan nikotinnya.
“Tapi fakta sampai 90% rokok elektrik ada nikotinnya tak bisa dibantah,” ucapnya.
Selain nikotin, rokok elektrik juga terkandung bahan karsinogen yang berasal dari cairan atau liquid.
Terakhir, rokok elektrik dan rokok tembakau juga sama-sama mengandung bahan toksik yang sifatnya iritatif serta merangsang terjadinya peradangan anti-inflamasi.
“Baik asap dari rokok konvensional maupun uap dari rokok elektrik mengandung partikel halus dan itu merangsang iritasi dan menginduksi peradangan anti-inflamasi.”
“Jadi rokok elektrik dan konvensional sama-sama bikin ketagihan dan menimbulkan bahaya kesehatan.”
Ia lantas membeberkan penelitian yang dilakukan pada 2018 terhadap 71 subjek laki-laki yang memakai rokok elektrik.
Hasilnya sebanyak 76% ketagihan dan ditemukan kadar kotinin urin sebesar 276, nano gram pada pengguna rokok elektrik yang rutin.
Jumlah itu, kata Dokter Dwi, sebanding dengan orang yang merokok tembakau sekitar lima batang per hari.
Apa dampak kesehatan rokok elektrik?
Rokok elektrik berpotensi menimbulkan gangguan pada sistem jantung dan pembuluh darah lantaran ada kandungan logam dan heavy metals dalam cairan rokok elektrik.
Efek akut yang ditimbulkan di antaranya meliputi peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, oksidatif stres, kerusakan fungsi pembuluh darah.
Selain itu, pengguna rokok elektrik juga menyebabkan penyakit paru dan cedera paru akut serta meningkatkan risiko penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan asma.
Dan dalam jangka panjang kanker paru.
“Simpulannya bahwa pajanan rokok konvensional menyebabkan kerusakan paru yang besar berupa jaringan paru-parunya mengalami kerusakan yang tidak berbeda dengan kerusakan apabila dipajankan asap rokok elektrik kadar 3 miligram.”
“Jadi kalau ada perokok yang bilang dua tahun fungsi parunya bagus, artinya kerusakan masih pada tingkat sel… bayangkan sepuluh tahun kemudian kerusakan akan menumpuk dan timbul gejala akibat akumulasi rokok.”
Salah satu pasien yang ditanganinya mengalami kasus paru bocor dan penumpukan cairan pada paru kiri.
Pasien itu laki-laki berusia 23 tahun, kata Dokter Dwi.
Datang dengan keluhan sesak napas sejak tiga hari terakhir. Tidak ada riwayat asma, TB, atau operasi.
Yang jadi masalah pasien itu sudah merokok sejak 10 tahun lalu dan dalam setahun terakhir menggunakan rokok elektrik atau vape atau kira-kira 50 hisap sehari.
Hasil rontgen menunjukkan paru pasien tersebut bocor dan ada penumpukan cairan di sebelah kiri.
“Setelah selesai operasi mengeluarkan cairan, parunya bisa dikembangkan dan disuruh berhenti nge-vape. Setelah itu tidak kambuh-kambuh lagi. Jadi penyebab kemungkinan besar vape. Ini fakta, nggak bohong.”
Itu mengapa PPDI mendesak pemerintah agar segera menerbitkan aturan terkait rokok elektrik karena kalau tidak maka dalam 10 atau 15 tahun mendatang bakal menjadi “bom waktu masalah kesehatan.”
Kapan pemerintah menerbitkan aturan rokok elektrik?
Juru bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyebut aturan yang membatasi konsumsi rokok elektrik masih dalam tahap harmonisasi antar-kementerian.
Nantinya beleid itu akan dalam bentuk Peraturan Pemerintah -produk hukum turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2023.
Di dalamnya ada beberapa usulan yang mengemuka.
Semisal melarang rokok elektrik untuk dikonsumsi kepada usia kurang dari 21 tahun dan pengawasan peredarannya sangat ketat, dimulai dari penetapan kadar maksimal nikotin serta melarang adanya zat tambahan.
Kemudian akan ada pengendalian iklan, promosi, dan sponsorship secara ketat.
Lalu pengujian nikotin pada saat sebelum dipasarkan dan setelah dipasarkan.
Terakhir bakal ada larangan perasa.
Nadia mengatakan PP rokok elektrik rampung dalam waktu dekat.
‘Tempat umum harus bersih dari rokok elektrik’
Manajer Program Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Nina Samidi, menyebut Indonesia sangat terlambat mengurus rokok elektrik.
Pihak Komnas PT bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI), klaimnya, telah mengingatkan persoalan kesehatan yang ditimbulkan dari rokok elektrik sejak 2015 silam.
Tapi peringatan itu tak ditanggapi pemerintah dan tak ada aturan maupun edukasi yang diterbitkan.
Sampai pada 2019 Kementerian Keuangan yang disebutnya lebih cepat bergerak dengan menerapkan cukai rokok elektrik sebesar 57%.
“Sudah beberapa tahun ada cukai rokok elektrik, tapi Kemenkes malah belum punya aturan padahal sudah didesak,” ucapnya kepada BBC News Indonesia.
“Padahal rokok elektrik ini sangat menghawatirkan karena penetrasinya sangat kuat dan cepat. Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 saja menunjukkan kenaikan perokok elektrik hingga 10 kali lipat dalam waktu dua tahun.”
Pada Peraturan Pemerintah yang memuat pembatasan rokok elektrik nanti, dia berharap pelarangan rokok elektrik disamakan dengan rokok tembakau.
Tidak boleh ada keistimewaan lantaran bahayanya sama-sama besar.
Misalnya Kawasan Tanpa Rokok tidak hanya berlaku untuk produk tembakau tapi juga rokok elektrik.
Pencantuman gambar peringatan pun harus disamakan dengan bungkus rokok tembakau.
Tak kalah penting, kata Nina, iklan rokok elektrik mesti dikendalikan. Termasuk adanya larangan menjual ke anak-anak dan ibu hamil.
“Pemerintah sekarang masih takut mengatur rokok elektrik karena ada alasan rokok elektrik dipakai untuk berhenti merokok atau treatment…”
“Tetapi pemerintah tidak melihat bahwa di Inggris pengendaliannya sangat bagus dan memakai rokok elektrik berdasarkan resep dokter, jadi tidak sembarang diperjualbelikan.”
Tapi lebih dari itu, Nina berharap ke depannya cukai rokok elektrik tidak hanya diterapkan pada cairan atau liquidnya saja.
Namun juga peralatan hisapnya.
“Harusnya sebagai produk yang dipakai untuk mengonsumsi produk berbahaya atau mengancam kesehatan kena cukai.”
Selain itu cukainya pun minimal harus naik 20% setiap tahun -seperti yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Besaran angka itu diklaim tidak akan menganggu perekonomian Indonesia.
Intinya, kata Nina, jangan sampai lebih rendah dari inflasi.
Pada akhir tahun lalu WHO mendesak pemerintah di semua negara untuk memberlakukan rokok elektrik dengan varian rasa layaknya rokok tembakau.
Seperti dilansir dari Reuters, penggunaan vape sudah dilarang di 34 negara pada 2023 seperti di Brasil, India, Iran, dan Thailand.
Akan tetapi banyak negara kesulitan menegakkan aturan penggunaan rokok elektrik. (h/Sumber:bbcindonesia)