Oleh: Taufik Umri

Sejarah Pemilu
Berangkat dari catatan sejarah Indonesia sudah dua belas kali (12) menggelar pemilihan umum (Pemilu). Pemilu pertama digelar tahun 1955 saat Orde Lama berkuasa, kemudian enam (6) kali digelar (1971-1997) pada masa orde baru dan lima kali (5) dilaksanakan (1999-2019) di era reformasi.
Setiap pelaksanaan pemilihan umum memiliki sejarah dan makna sesuai dengan kondisi dan keadaanya. Zaman orde lama pasti berbeda dengan masa orde baru dan era reformasi bisa dikatakan sebagai anti tesa dari masa orde baru. Dari perbedaan yang ada, akan ditemukakan benang merah dari esensi pemilu dilaksanakan.
Pemilu pertama dilaksanakan pada tahun 1955 dengan keterlambatan masa pelaksanaan. . Seharusnya setelah ditetapkanya Presiden Soekarno dan Muh. Hatta menjadi presiden dan wakil presiden 18 Agustus 1945 harusnya pemilu segera digelar. Tetapi disebabkan instabilitas nasional mengakibatkan pemilu “molor” sampai sepuluh tahun.
Keterlambatan pelaksanaan pemilu secara umum dikarenakan tiga hal. Pertama, Mempertahankan Kemerdekaan. Meskipun Indonesia sudah berdiri menjadi negara berdaulat, pemerinah Belanda tetap masuk melakukan agresi sehingga kondisi Pemerintahan saat itu tidak terkendali dan tidak mungkin pemilu dapat berlangsung.
Kedua, kondisi keamana dan ekonomi yang tidak stabil. Gempuran Belanda mengakibatkan keamanan Indonesia semakin merosot, hal ini tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pada awal kemerdekaan Indonesia merdeka kondisi ekonomi sangat buruk. Terjadi hiperinflasi atau terjadi kenaikan harga-harga yang sangat ekstrim. Salah satu penyebabnya beredarnya lebih dari satu mata uang yang tidak terkendali.
Saat itu, pemerintah Indonesia menyatakan terdapat tiga mata uang yang berlaku. Mata uang De Javasche Bank (DJB), mata uang pemerintah Hindia Belanda dan mata uang pendudukan jepang juga diakui. Lemahnya perekonomian tidak memungkinkan pemilu dilaksanakan.
Ketiga, kekosongan regulasi. Penyebab yang ketiga pemilu tertunda sampai sepuluh tahun karena tidak ada satu regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemilihan umum.
Di tengah kondisi negara yang tidak menentu dan tekanan ekonomi yang menjepit sulit menyusun peraturan tentang pemilihan umum.
Mulai pulihnya kondisi keamanan negara dan menguatnya ekonomi pemerintah Indonesia, barulah tahun 1955 digelar pemilu pertama.
Pemilihan ini dilakukan sebanyak dua (2) kali. Pemilu pertama diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota Dewan perwakilan rakyat. Sedangnkan pemilu kedua digelar pada tanggal 25 Desember 1955 memilih anggota konstituante.
Pemilu pertama ini dimenangkan oleh partai Nasional Indonesia (PNI) sebesar 23,97%, diikuti dengan partai Masyumi 20,59%, urutan ketiga ada Nahdlatul Ulama dengan perolehan angka sebesar 18,47%.
Pemilu pertama ini berjalan dengan baik, bahkan banyak pengamat politik dan pakar hukum tata negara mengatakan bahwa pemilu 1955 adalah pemilu terjujur pernah ada sampai saat ini.
Pemilu kedua dilaksanakan pada tahun 1971. Ada jarak yang sangat panjang pelaksanaan antara pemilu pertama dengan pemilu kedua, kondisi ini disebabkan situasi politik dalam negeri yang mengalami pasang surut.
Disharmoni antara elit politik, kebijakan pola pembangunan yang kurang seragam, sampai terjadi pemberontakan di berbagai daerah mengakibatkan penyelenggaraan pemilu ditunda.
Enam belas (16) tahun lamanya jarak pemilu pertama dengan pemilu kedua.
Pemilu kedua ini dilaksanakan oleh pemerintahan Presiden Soeharto setelah mendapatkan mandat dari hasil sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tanggal 27 Maret 1968.
Salah satu amanah MPRS saat itu agar pemerintah yang baru melakukan percepatan pemilihan umum. Pada tanggal 5 Juli 1971 pemilu kedua digelar dengan menggunakan sistem yang berbeda dengan pemilu pertama. Pemilu kedua menggunakan sistem berimbang stelsel daftar mengikat.
Maksudnya dari sistem ini adalah besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD berimbang dengan besarnya dukungan pemilih yang memberikan suaranya kepada organisasi peserta pemilu atau partai politik. Pemilu kedua ini diikuti oleh sepuluh (10) partai politik. Golongan Karya (Golkar) keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara sebanyak 34.348.672 yang disusul dengan NU, PNI dan Parmusi. Adapun landasan pemilu tahun 1971 merujuk pada UU No.15 tahun 1969.
Pemilu ketiga dilaksanakan tepat waktu, bahkan pemilu ketiga ini menjadi standar pelaksanaan pemilu dilaksanakan on time (lima tahun sekali).
Pemiliu tahun 1977 dilaksanakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977. Pemilu digelar memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Menariknya pada pemilu kali ini peserta pemilu hanya terdiri dari 3 partai. Seluruh partai yang pernah terlibat dalam perhelatan pemilu melebur menjadi satu berdasarkan mazhab, ideologi dan garis gerakan partai masing-masing.
Misalnya Nahdlatul Ulama (NU), PARMUS, PERTI, PSII melebur kedalam rumah besar PPP. Sedangkan PNI, Parkindo, Partai Katolik masuk kedalam PDI. Dan Partai IPKI dan Muba bergabung menjadi Golkar.
Pada pemilu ketiga Golkar menjadi pemenang dengan perolehan suara 39.750.096 (62,80%), kemudian diikuti oleh Partai Persatuan Pembangunan 18.743.491 (27,12%). Dan sebagai juru kunci PDI mendapatkan suarat 5.504.757 (10,08%).
Pemilu tahun 1982 sampai 1997 hampir sama dengan pemilu 1977. Pemilu ini hanya memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara berjenjang dan memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (utusan golongan dan utusan daerah).
Setiap pemilu dimenangkan oleh partai Golkar. Sedangkan pemilihan presiden dilakukan dengan cara dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari DPR dan DPD melalui sidang umum MPR.
Pemilu kedelapan (8) dilaksanakan pada tahun 1999 persis setelah dua (2) tahun pemilu digelar. Percepatan pemilu ini dikarenakan presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh presiden Habibie.
Orde Baru yang telah berkuasa selama tiga puluh dua (32) tahun digantikan dengan era reformasi, dimana rakyat menginginkan perubahan di segala bidang kehidupan.
Pemilu digelar pada 7 Juni 1999 diikuti oleh 48 partai politik. PDI keluar menjadi pemenang pemilu. Dari 48 partai yang mengikuti pemilu hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR.
Penyelenggaraan pemilu tahun 2004 memasuki babak baru dalam sistem pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Jika pemilu sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang umum MPR di Senayan, untuk pemilu tahun 2004 presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Pemilu ini diselenggarakan pada pada tanggal 5 April tahun 2004 untuk pemilihan DPR, DPD dan DPRD, sedangkan pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih pada tanggal 5 Juli 2004 untuk putaran pertama dan 20 September.
Untuk putaran kedua. Pemilihan presiden dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla (JK) saat itu.
Pemilu Tahun 2009 Tidak banyak perbedaan dengan pemilu tahun 2004.
Hanya ada beberapa ketentuan yang berubah. Pertama parliamantary trheshol yang awalnya ditetapkan sebesar tiga persen (3%) dari perolehan kursi di senayan, turun menjadi 2,5 persen (2,5%).
Kedua, sistem penetapan pemenang calon presiden dan wakil presiden terpilih ditetapkan jika perolehan suara pasangan calon presiden terpilih mendapatkan lima puluh persen (50%) dari jumlah suara dengan dua puluh persen (20%) suara tersebar di lima puluh persen (50%) provinsi yang ada di Inodesia.
Pemilu ini diikuti oleh 38 partai politik dan hanya 9 partai politik yang lolos parliamantary trheshol (ambang batas) (Demokrat, Golkar, PDI-P, PKS, PAN, PPP, PKB, Gerindra dan Hanura).
Presiden dan wakil presiden terpilih yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Budiono.
Pemilu tahun 2014 dilaksanakan tepat waktu. Pemilihan DPR, DPD dan DPRD dilaksanakan pada tanggal 9 Arpil 2014 sedangkan pemilihan presiden digelar pada tanggal 9 Juli 2014.
Pemilu saat itu diikuti oleh 15 partai politik, dimana tiga di antara peserta pemilu dari partai politik dari partai lokal Aceh. Dari seluruh partai politik yang mengikuti pemilu hanya 10 partai politik yang melewati parliamantary trheshold tiga koma lima persen (3,5%).
Jokowi dan Yusuf Kalla keluar menjadi pemenang dan ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden.
Pemilu tahun 2019 digelar tanggal 17 April. Terdapat empat beas (14) partai politik yang berkontestasi. sepuluh (10) partai nasional dan empat (4) partai lokal Aceh. Tetapi hanya 9 partai yang lulus parliamantary threshold (PDI-P, Golkar, Gerindra, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, PAN dan PPP).
Pemilu tahun 2019 hanya diikuti dua pasangan calon yaitu Joko widodo-Ma’ruf Amin dan Parbowo-Sandiaga S. Uno. Pasangan joko widodo dan Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil dengan perolehan suara sebesar 55,50% (85.607.362 suara), sedangkan Prabowo-Hatta memperoleh suara sebanyak 68.650.237 (44,50%).
Dari rentetan sejarah pemilu pertama sampai pemilu terakhir tahun 2019, Indonsia harusnya sudah percaya diri untuk menggelar Pemilihan Umum tepat waktu yang akan menghasilkan pemilu yang berkualitas di tahun 2024.
Sebab fluktuasi kondisi pemilu tahun-tahun sebelumnya dapat dijadikans sebagai pelajaran dan kekuatan dalam merumuskan pemilu yang akan datang. Lika-liku sejarah digelarnya pemilu dapat dijadikan Ibroh (pelajaran) mengukir kesuksesan pemilu yang akan datang.
Pemiliahan umum sebagai sarana demokrasi dalam menentukan kekuasaan harus on the track dengan cita-cita bangsa Indonesia. mengutip Radian syam dalam bukunya masalah hukum pemilu (konsep dan analisis kasus) dijelaskan bahwa pemilu bukan sekedar soal prosuderal, di dalamnya ada daulat rakyat yang harus dijaga.
Oleh karena itu pagelaran pemilu harus terintegrasi dengan spirit perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sekali pemilu keluar dari lintasan sejarah, maka pemilu tidak akan menemukan out put dari makna pemilu yang sesungguhnya yaitu tegaknya kedaulatan rakyat.
Sistem Pemilu
Bahkan Undang-Undang Dasar 1945 tidak mematok sistem pemilu apa yang harus dipakai saat pemilu. Semua diserahkan kepada penyusun Undang-Undang, sistem apa yang paling mendekati tegaknya kedaulatan rakyat saat pemilihan umum berlangsung. Intinya, sistem pemilu ideal saat pengutan partai politik dan tegaknya kedaulatan rakyat berjalan secara simultan. Ini yang menjadi takaran sebuah sistem pemilu.
Dari defenisi yang bervariasi Gallagher dan Mitchell menjelaskan bahwa sistem pemilu merupakan sekumpulan aturan yang menstruktur bagaimana suara diberikan pada pemilu untuk wakil rakyat dan bagaimana suara ini dikonversi menjadi kursi ke dalam lembaga perwakilan rakyat.
Artinya sistem pemilu dapat dijelaskan secara sederhana bahwa seluruh aturan main tentang pelaksanaan pemilihan umum dikelompokkan ke dalam sistem pemillu.
Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan rujukan sebagai sistem pemilu di setiap tempat.
- Pertama, sistem pemilu harus menjamin representasi politik. maknanya sistem pemilu yang diterapkan harus mudah diakses dan mengandung keterlibatan semua orang. Setiap orang harus terlibat saat tanpa ada yang boleh tertinggal seorang pun dalam pelaksanaanya.
- Kedua, sistem pemilu harus menjamin bahwa hasil yang akan dihasilkan dari pemilu adalah pemerintah yang efisien, efektif dan stabil. Sebab aspirasi dan kebutuhan rakyat terhadap kedaulatan harus tercermin dari pemerintah.
- Ketiga, ongkos pelaksanaan. Sisi pembiayaan penyelenggaraan pemilu harus termanajemen dengan baik, jangan sampai sistem yang diterapkan merogoh anggaran yang begitu besar karena akan berdampak terhadap keberlanjutan pola pembangunan sebuah negara.
Jika kita merujuk pada negara maju dan berkembang pasti memiliki sistem yang berbeda dalam penerapan sistem pemilu di setiapp masing-masing negara tersebut.
Prof. Kacung Marijan menegaskan bahwa berdasarkan negara yang pernah melaksanakan pemilihan umum dapat disimpulkan terdapat tiga sistem pemilu yang selalu dijadikan rujukan.
- Pertama sistem pluralitas. Sistem ini sering juga disebut dengan sistem distrik. Dimana sistem pluralitas atau distrik merupakan sistem pemilu yang didasarkan atas kesatuan geografis, dimana setiap kesatuan geografis memiliki satu wakil dalam distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota badan perwakilan rakyat yang dikehendaki. Jadi tiap distrik diwakili oleh satu orang yang memperoleh suara mayoritas. Negara yang mengadopsi sistem ini yaitu Inggris, Malaysia, India, dan banyak negara lain. Selanjutnya, ada sistem Proporsional. Sistem proporsional ialah sistem dimana persentase kursi di dewan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai poliltik disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Dalam sistem ini, setiap orang akan memilih partai politik bukan persorangan seperti sistem distrik. Memang hubungan pemilih dengan wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat tidak seerat dalam sistem distrik. Sistem proporsional sendiri terbagi dua. Pertama proporsional tertutup, dalam sistem pemilu pemilik suara mencoblos/ mencontreng nama partai politik dan kemudian partailah yang akan menentukan nama-nama anggota dewan perwakilan rakyat (DPR). Biasanya penetapan calon anggota dewan terpilih sudah dapat dilihat dari nomor urut.
- Kedua proporsional terbuka, kebalikan dari sistem proporsional tertutup. Setiap orang memiliki kesempatan untuk ditetapkan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) terpilih, karena setiap pemilik suara dapat langsung memberikan suaranya kepada calon legislatif yang ia inginkan. Dimana penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Nomor urut tidak lagi menentukan, bahkan “nomor sepatu” pun bisa terpilih menjadi anggota dewan perwakilan dengan catatan mendapatkan suara terbanyak saat pemilihan berlangsung. Adapun negara yang melaksanakan sistem ini yaitu Indonesia
- Ketiga, sistem campuran (Mixed system). Sistem campuran merupakan kombinasi dari sistem distrik dan sistem proporsional. Sistem campuran menjadi jalan tengah dari kedua sistem tersebut. Diantara negara maju yang menggunakan sistem campuran adalah Itali dan Jerman. Adapun sistem pemilu yang lain tidak begitu familiar sehingga jarang dijadikan rujukan sebuah negara.
Perolehan jumlah suara pada pemilihan umum akan menjadi tolak ukur saat dikonversi menjadi kursi-kursi di parlemen. Selain itu juga perolehan suara dapat dijadikan modal kuat dalam negosiasi politik dalam pencalonan presiden dan kepala daerah bagi partai politik.
Indonesia sendiri sampai saat ini tetap istiqomah menggunakan sistem proporsioanal sebagai sarana pemilihan umum meskipun dengan variasi terbuka dan tertutup.
Sebagai negara yang sepakat menganut demokrasi partisipatoris (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat) harusnya rakyat diberikan ruang lebih leluasa memilih dan menentukan wakil mereka.
Bahkan, cenderung menghasilkan masalah baru dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Akibatnya, banyak pihak yang menilai dan memberikan pandangan bahwa sistem proporsioanal terbuka tidak relevan dipakai sebagai sistem pemilu pada tahun 2024. Sehingga banyak pihak yang melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar sistem pemilu tahun 2024 dubah.
Atau pandangan yang menyatakan bahwa sistem pemilu adalah bagian dari
Sedangkan kader partai yang sudah tahunan, militan dengan keterbatasan alat kelengkapan hanya menjadi pelengkap kuota daftar calon tetap yang diusung partai politik. Berharap menjadi pemenang bagaikan pungguk merindukan rembulan.
Latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi dan jam terbang tidak menjadi standar, selama memenuhi kualifikasi selera pasar pasti dipersilahkan maju berkontestasi.
Berberda dengan kader karbitan yang dicetak instan. saat duduk di lingkarann kekuasaan tanpa melewati sekolah pengkaderan yang matang, boleh jadi perjuangan dan argumentasinya bertolak belakang.
Hal ini disebabkan melompati sistem pengkaderan yang wajib untuk setiap anggota partai politik, ghiroh perjuangan partai tidak menyatu dalam kebijakan yang dilakukan.
Pemilik suara terbanyak belum tentu otomatis menjadi pemeneng. praktek proporsional tertutup diistilahkan banyak orang ibarat