PRi.Com – Berjuta-juta penduduk bumi akan terkena risiko banjir akibat peningkatan ketinggian air laut yang disebabkan perubahan iklim pada abad ini.
Ini merupakan kesimpulan satu penelitian yang diadakan oleh Climate Central, sebuah organisasi nonpemerintah yang bermarkas di Amerika Serikat.
Menurut lembaga ini, daerah-daerah yang akan berada di bawah ketinggian air laut pada tahun 2100 akan dihuni oleh sekitar 190 juta orang.
Hari ini, menurut perkiraan lembaga ini, sekitar 110 juta orang tinggal di kawasan itu – yang umumnya terlindung oleh dinding, tanggul dan berbagai benteng pantai lainnya.
Perkiraan masa depan selama ini berlandaskan asumsi pemanasan global yang moderat, maka gangguan air laut diperkirakan terbatas.
Penyelidikan Climate Central yang diterbitkan di jurnal Nature Communications, mengkoreksi bias dalam paket data ketinggian yang dipakai untuk mengukur seberapa jauh kawasan pedalaman yang akan tergenang akibat perubahan cuaca.
Paket data ini berasal dari misi pesawat ulang alik luar angkasa Endeavour yang menggunakan radar di tahun 2000 untuk memproduksi peta ketinggian di seluruh dunia.
Dari sini dibuat model tiga dimensi Planet Bumi yang menjadi data yang paling banyak digunakan untuk keperluan ini.
Namun tim dari Climate Central, Scott Kulp dan Benjamin Strauss, mengatakan data itu bias yang membuat beberapa daratan tampak lebih tinggi dari yang sebenarnya.
Hal ini terjadi karena di lokasi-lokasi tersebut terdapat tetumbuhan tebal semisal hutan, dan radar Endeavour keliru membacanya sebagai permukaan tanah.
Kulp dan Strauss menggunakan perangkat lebih mutakhir berupa Lidar (pendeteksi dengan sinar laser) untuk memasukkan data ke komputer yang kemudian mengkoreksi kekeliruan digital elevation model (DEM) dari data sebelumnya.
Kemudian ketika data CoastalDEM ini digunakan bersamaan dengan statistik populasi dan perkiraan peningkatan ketinggian air laut, menjadi jelas bahwa lebih banyak orang yang akan terkena dampak di masa depan.
Data ketinggian yang baru ini memperlihatkan bahwa enam negara Asia (China, Bangladesh, India, Vietnam, Indonesia, dan Thailand), harus menghadapi ancaman banjir laut tahunan pada tahun 2050.
Di kawasan tersebut penduduk yang terdampak sekitar 237 juta orang.
Jumlah ini kira-kira 183 juta lebih banyak daripada pengukuran berdasarkan data sebelumnya.
Berikut adalah perbandingan jumlah manusia yang terdampak berdasar perkiraan baru versus perkiraan lama
- China – 93 juta vs 29 juta
- Bangladesh – 42 juta vs 5 juta
- India – 36 juta vs 5 juta
- Vietnam – 31 juta vs 9 juta
- Indonesia – 23 juta vs 5 juta
- Thailand – 12 juta vs 1 juta
Tim ini telah memproduksi peta interaktif untuk menggambarkan perbedaan antara perkiraan berdasarkan Endeavour dengan data yang sudah direvisi dengan Lidar.
Peta ini juga memungkinan untuk melihat perubahan-perubahan keadaan, tergantung bagaimana persoalan krisis iklim diatasi.
Berdasarkan perkiraan pesimistis, masa depan diperkirakan akan terus dipengaruhi emisi gas yang tinggi, maka CoastalDEM memperkirakan sebanyak 630 juta orang akan terkena dampak banjir laut tahunan di tahun 2100.
Di tahun 2050, jumlah ini sebanyak 340 juta jiwa, meningkat dari perkiraan sebelumnya sekitar 250 juta jiwa.
Secara umum, CoastalDEM memperkirakan populasi global berada dalam ancaman banjir laut tiga kali lipat lebih besar daripada apabila yang dipakai adalah paket data dari Endeavour.
“Kami memperkirakan satu miliar orang kini tinggal di daratan yang ketinggiannya di bawah 10 meter dari permukaan air laut, dan 250 juta di antaranya tinggal di kawasan yang ketinggiannya di bawah satu meter,” tulis Kulp dan Strauss.
Ketinggian air laut terus meningkat 3 mm per tahun dalam beberapa dekade terakhir, dan percepatan dalam tren ini kini bisa diamati dengan jelas.
Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menyatakan bulan lalu bahwa, dakam skenario terbutuk, ketinggian air laut secara global, rata-rata bisa meningkat 1,1 meter pada tahun 2100.
Kulp dan Strauss sendiri menekankan adanya keterbatasan dalam analisis mereka. Misalnya mereka mengasumsikan populasi yang statis – pertumbuhan dan migrasi di masa depan tidak diperhitungkan.
Mereka juga tidak memperhitungkan perubahan-perubahan dalam benteng air laut.
Secara regional, analisis Climate Central ini tidak terlalu mengejutkan mengingat survei dengan Lidar sudah banyak digunakan untuk menilai risiko banjir air laut.
Namun analisis mereka tetap penting, terutama bagi daerah-daerah yang belum pernah menggunakan teknologi itu. (h/sumber: bbcindonesia)