
Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com
Pemerintah Kabupaten Samosir kembali mencuri perhatian publik setelah memberangkatkan tujuh tokoh agama dari berbagai denominasi untuk melaksanakan ibadah rohani ke Yerusalem dan umrah ke Mekkah.
Program yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2025 ini diklaim sebagai upaya memperkuat spiritualitas dan toleransi antarumat beragama di daerah kepulauan di tengah Danau Toba tersebut.
Bupati Samosir Vandiko T. Gultom dalam keterangannya menyebut, pembangunan manusia tidak hanya diukur dari aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga spiritual. “Pembangunan sumber daya manusia terdiri dari dua aspek, yaitu intelektual dan rohani. Kami ingin para pemimpin umat semakin kuat dalam iman dan mampu menuntun umat dengan bijaksana,” ujarnya saat melepas para peserta di Rumah Dinas Bupati, Jumat (7/11).
Program ini disebut sebagai tindak lanjut aspirasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Samosir, yang merekomendasikan nama-nama tokoh lintas agama untuk diberangkatkan. Peserta terdiri dari empat tokoh Kristen, satu Katolik, dan dua Muslim. Perjalanan ke tanah suci bagi peserta Nasrani dijadwalkan pada November hingga awal Desember, sementara jamaah Muslim menjalankan ibadah umrah pada rentang waktu yang hampir bersamaan.
Langkah ini menuai apresiasi dari sejumlah tokoh lintas agama. Mereka menilai, pemberangkatan tersebut menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap keseimbangan pembangunan jasmani dan rohani. “Pemerintah jarang sekali memberi ruang bagi penguatan spiritual tokoh agama. Ini langkah berani dan patut diapresiasi,” kata Tawar Tua Simbolon, Kepala Kantor Kementerian Agama Samosir, yang juga Wakil Ketua Dewan Penasehat FKUB.
Namun, di sisi lain, muncul pula pandangan kritis dari kalangan politikus daerah. Salah satu politisi senior di Samosir menilai kebijakan itu perlu dievaluasi secara bijak, terutama karena menggunakan dana publik. Menurutnya, meski tujuan program bersifat mulia, pelaksanaannya harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang masih menghadapi berbagai keterbatasan.
“Rohani memang penting, tetapi ada prioritas dasar yang tak kalah mendesak,” ujarnya di Pangururan, Senin (11/11). Ia menyoroti persoalan air bersih yang melanda sejumlah desa di dataran tinggi Samosir akibat musim kering berkepanjangan.
“Sudah delapan bulan hujan tak turun. Banyak warga kesulitan mendapatkan air. Andai sebagian dana itu dialokasikan untuk penyediaan air bersih gratis, dampaknya akan lebih langsung dirasakan masyarakat,” tambahnya.
Politikus tersebut menegaskan, kebijakan publik seharusnya berpihak pada kebutuhan mendasar masyarakat, bukan pada kegiatan simbolik.
“Ziarah itu mulia, tetapi kemuliaannya bisa pudar jika dilakukan di atas penderitaan rakyat sendiri. Air adalah hidup. Dan ketika rakyat kehilangan air sementara anggaran justru dialirkan untuk perjalanan rohani, maka yang kering bukan hanya tanah, tapi juga nurani,” katanya menutup pernyataannya.
Pandangan itu menambah dinamika dalam wacana publik di Samosir. Di satu sisi, masyarakat mengapresiasi semangat pemerintah memperkuat toleransi dan pembinaan iman. Namun di sisi lain, muncul harapan agar setiap kebijakan berlandaskan keseimbangan antara kebutuhan spiritual dan kesejahteraan material rakyat.
Kritik yang muncul menunjukkan satu hal penting: demokrasi di tingkat daerah tengah tumbuh. Perbedaan pandangan menjadi ruang dialog yang sehat — antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil — demi memastikan setiap kebijakan tidak hanya menyentuh langit keimanan, tetapi juga berpijak kuat di bumi kebutuhan rakyat. ( hots)