Oleh: Wartawan senior
Hotman Siagian.

Di tengah derasnya arus informasi digital, ruang publik kita kini berpindah ke layar ponsel. Media sosial menjadi wadah baru bagi rakyat untuk bersuara: menuntut transparansi, mengkritik kekuasaan, bahkan membeberkan perilaku para pejabat publik yang dianggap menyimpang dari tugasnya.
Namun, tidak jarang suara-suara itu dibalas dengan ancaman hukum. Pasal-pasal pencemaran nama baik kerap digunakan sebagai “tameng kuasa,” seolah kritik adalah kejahatan.

Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan dengan terang: mengkritik pejabat publik tidak boleh dikriminalkan.

Pejabat Publik Bukan Sosok yang Kebal Kritik

KUHP Indonesia memang memuat sejumlah pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, seperti Pasal 310 hingga 319. Namun, semangat zaman dan tafsir hukum telah berubah.
Dalam Putusan MK Nomor 31/PUU-XIII/2015, Mahkamah menegaskan bahwa penghinaan terhadap pejabat publik merupakan delik aduan, bukan delik biasa.
Artinya, tidak boleh ada penegakan hukum tanpa adanya pengaduan dari pejabat yang bersangkutan secara pribadi. Lebih dari itu, MK menilai pejabat publik adalah pelayan rakyat — dan sebagai pelayan, mereka harus siap diawasi, dikritik, bahkan disoroti dengan tajam oleh publik.

“Pejabat publik bukan pribadi yang kebal kritik. Kekuasaan adalah mandat, bukan perisai,” demikian semangat putusan tersebut.

Kritik untuk Kepentingan Umum Bukanlah Penghinaan

Hukum kita juga mengakui ruang bagi kebenaran. Pasal 310 Ayat (3) KUHP menegaskan bahwa perbuatan tidak dianggap sebagai penghinaan apabila dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Inilah dasar moral dan hukum yang melindungi warga negara ketika mengungkap sesuatu yang penting bagi publik: perilaku pejabat, dugaan penyalahgunaan jabatan, atau kebijakan yang merugikan rakyat.

Kritik yang didasari niat baik dan data faktual bukan kejahatan. Justru sebaliknya, diam di tengah ketidak benaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi.

MK: UU ITE Bukan Alat Membungkam

Putusan MK terbaru — Nomor 105/PUU-XXII/2024 dan 115/PUU-XXII/2024 — mempertegas arah yang sama. MK menegaskan bahwa ketentuan pencemaran nama baik dalam UU ITE hanya berlaku untuk individu atau perseorangan, bukan lembaga atau pejabat dalam kapasitas jabatannya.
Artinya, postingan yang mengkritik lembaga negara atau pejabat publik karena kebijakannya tidak bisa otomatis dianggap melanggar hukum.

Putusan ini menjadi oase di padang gersang kebebasan berekspresi.
Di tengah maraknya kriminalisasi warganet atas unggahan di media sosial, MK kembali mengingatkan bahwa hukum tidak boleh menjadi palu yang memukul kritik, melainkan pagar yang menjaga etika berpendapat.

Kritik yang Santun, Pejabat yang Tangguh

Tentu saja, kebebasan berekspresi tidak boleh dijadikan dalih untuk menyebar fitnah atau ujaran kebencian.
Kritik yang beradab adalah kritik yang berbasis data, tidak menyerang kehormatan pribadi, dan ditujukan untuk memperbaiki, bukan menjatuhkan.
Sebaliknya, pejabat publik yang matang akan menjadikan kritik sebagai cermin, bukan ancaman.

Demokrasi sejati tidak diukur dari seberapa sering rakyat memuji, tetapi dari seberapa lapang dada pemerintah mendengar kritik.
Membuka ruang diskusi, bukan ruang sidang, adalah tanda negara yang percaya diri menghadapi rakyatnya.

Kebenaran untuk Publik Adalah Hak, Bukan Pelanggaran

Di tengah gempuran opini dan politik citra, kebenaran sering kali lahir dari suara-suara kecil — dari rakyat yang berani berbicara di ruang digital.
Mereka bukan musuh negara, melainkan penjaga nurani bangsa.

Karena itu, setiap warga yang berbicara untuk kepentingan umum harus dilindungi, bukan diadili.
Pejabat yang bijak bukan yang menutup telinga dari kritik, melainkan yang menjawabnya dengan kinerja dan keteladanan.

Penutup: Demokrasi Tidak Bisa Hidup dalam Sunyi

Kritik bukanlah bentuk permusuhan, melainkan ekspresi cinta kepada negeri.
Dan ketika rakyat berbicara, negara semestinya mendengarkan — bukan membungkam.

Sebab demokrasi tidak bisa hidup dalam sunyi.
Ia hanya tumbuh dalam keberanian untuk berkata benar, dan kebesaran hati untuk menerima kebenaran itu.

Mengkritik pejabat bukanlah kejahatan.
Menyembunyikan kebenaran — itulah pelanggaran terbesar terhadap nurani publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *