Liputan Khusus PrestasiReformasi.com

Oleh: Wartawan PrestasiReformasi.com
Samosir — Air terus mengalir dari tujuh pancuran Aek Sipitu Dai, situs budaya yang diyakini sebagai salah satu titik awal peradaban Batak. Senin (22/12), aliran air itu kembali menjadi saksi digelarnya ritual mangengge boni—tradisi merendam benih padi—yang telah lama jarang dilakukan masyarakat setempat.

Para Raja Bius, tokoh adat, Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta Kepala Desa Aek Sipitu Dai, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, berkumpul dalam suasana khidmat. Ritual tersebut bukan sekadar seremonial, melainkan upaya sadar menghidupkan kembali warisan budaya yang hampir tergerus oleh perubahan zaman.

Secara adat, mangengge boni dilakukan sebelum benih padi disemai ke sawah. Benih direndam di pancuran Aek Sipitu Dai sebagai simbol permohonan kepada Tuhan agar benih yang ditanam diberkati, tumbuh subur, dan menghasilkan panen yang berlimpah. Tradisi ini dahulu menjadi penanda dimulainya musim tanam sekaligus pengikat hubungan manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Selain mangengge boni, para tokoh adat juga menaruh harapan agar ritual manguras—prosesi pembersihan diri secara adat—dapat kembali dijalankan sebagai bagian dari upaya memulihkan nilai-nilai budaya Batak dalam kehidupan masyarakat.

Ketua BUMDes Aek Sipitu Dai Saut limbong menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Kenegerian Limbong dibentuk sebagai satu kesatuan wilayah adat yang terdiri dari lima desa, yakni Desa Sipitu Dai, Desa Boho, Desa Habeahan Naburatan, Desa Sariman Rihit, dan Desa Singkam. Dalam konteks tersebut, setiap keputusan dan pernyataan Raja Bius tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan hasil musyawarah lintas desa.

Para Raja Bius berharap pemerintah daerah dapat memfasilitasi masyarakat untuk mengembalikan identitas dan eksistensi Kenegerian Limbong secara utuh, tidak hanya dalam konteks budaya, tetapi juga dalam pengakuan wilayah dan sejarah adat.

Salah satu isu penting yang kembali mengemuka dalam pertemuan tersebut adalah keberadaan tombak raja atau hutan raja. Menurut penuturan para Raja Bius, hutan ini pada masa lalu menjadi sumber kehidupan masyarakat Kenegerian Limbong. Kayu dan rotan diambil secukupnya untuk membangun rumah, keperluan adat, hingga pelaksanaan upacara budaya besar seperti pemotongan kerbau.

“Kebutuhan adat masyarakat dulu sepenuhnya bergantung pada tombak raja. Kami berharap, ketika masyarakat membutuhkan kayu dan rotan untuk kepentingan budaya, hal itu tidak dilarang, karena menyangkut warisan leluhur,” ujar salah seorang Raja Bius.

Selain persoalan hutan adat, para Raja Bius juga menyampaikan aspirasi agar Menara Pandang Tele diubah namanya menjadi Menara Pandang Limbong Mulana, serta Hutan Pinus Tele menjadi Hutan Pinus Limbong Mulana. Mereka menilai perubahan nama tersebut penting sebagai pengakuan terhadap sejarah dan filosofi Kenegerian Limbong.

Saut Limbong menjelaskan bahwa lokasi tombak raja saat ini merupakan wilayah yang telah disepakati para raja terdahulu, membentang dari kawasan Hutan Hariara Pintu hingga perbatasan Kabupaten Dairi di sisi kanan jalan negara menuju Danau Toba. Wilayah itu diyakini sebagai warisan Kenegerian Limbong Mulana yang perlu dijaga bersama.

“Kami berharap persoalan ini dibicarakan secara terbuka dan musyawarah dengan kenegerian lain. Saat ini sudah mulai muncul pengkaplingan dan kelompok-kelompok tertentu, sehingga diperlukan duduk bersama agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” katanya.

Kepala Desa Sipitu Dai, Jenri J. Limbong, menyatakan bahwa pemerintah desa telah menyurati Bupati Samosir dan DPRD Kabupaten Samosir untuk memfasilitasi pertemuan bersama. Rapat tersebut direncanakan berlangsung di kantor desa atau di kawasan Titik Nol Habatahon, dan akan dipimpin oleh Ketua Umum Bernard Limbong.

Langkah tersebut, menurut Jenri, bertujuan menjaga kondusivitas serta mencegah terjadinya kesalah pahaman di tengah masyarakat akibat perbedaan persepsi terkait wilayah adat dan pengelolaan hutan.

Sementara itu, Raja Bius Sipitu Dai, Romanda Limbong, memaparkan batas-batas Kenegerian Limbong Mulana yang diwariskan secara turun-temurun. Tapal batas tersebut dikenal dengan istilah Batu Magulang hingga Batu Marso. Secara filosofis, batas itu dimaknai sejauh pandangan dari puncak bukit tertinggi, tempat batu dijatuhkan hingga berhenti di dasar.

Raja Bius Sipitu Dai lainnya, Ramses Limbong, menegaskan bahwa tombak raja, Menara Pandang Tele, dan Hutan Pinus Tele memiliki nilai sakral dan filosofis bagi Kenegerian Limbong. Menurutnya, kawasan tersebut merupakan bagian dari situs budaya Titik Nol Habatahon yang perlu dijaga dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Ritual mangengge boni yang digelar di Aek Sipitu Dai pun menjadi lebih dari sekadar peristiwa budaya. Ia menjelma sebagai ruang refleksi kolektif tentang pentingnya merawat ingatan leluhur, menjaga harmoni dengan alam, serta membangun dialog antara adat dan negara demi masa depan masyarakat Kenegerian Limbong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *