Samosir. PRESTASIREFORMASI.Com
Di balik gemerlap Danau Toba, berdiri sebuah rumah sakit dengan sejarah panjang, yang menjadi saksi bisu dinamika kesehatan masyarakat Batak: RSU HKBP Nainggolan. Dari balai pengobatan pada masa kolonial Belanda hingga transformasinya di bawah HKBP, rumah sakit ini tidak hanya menawarkan pelayanan medis, tetapi juga menjadi simbol pengabdian tanpa pamrih bagi masyarakat sekitar.

Awal yang Sederhana di Masa Kolonial

Hotman Siagian, mantan pegawai RSU yang pensiun pada Thn 2022, membuka percakapan kepada seorang mahasiswi USU medan, kamis 27/11 di Pangururan ketika menanyakan perjalan sejarah RSU ini. Menyinggung akar sejarah rumah sakit ini. “Pada tahun 1936, Belanda mendirikan balai pengobatan di Nainggolan sebagai bagian dari misi zending. Saat itu, fasilitasnya sederhana, jauh dari standar rumah sakit modern. Tapi bagi masyarakat, itu sudah merupakan kemewahan,” ujarnya.

Balai pengobatan tersebut awalnya dimaksudkan sebagai tempat pelayanan kesehatan dasar, namun juga menjadi pusat kegiatan misi Kristen. Tokoh seperti Pdt. Johannes Warneck berperan penting dalam memastikan pelayanan medis berjalan seiring program pendidikan dan keagamaan.

“Pelayanan kesehatan dulu tak bisa dilepaskan dari misi. Tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mendidik masyarakat tentang kebersihan dan pola hidup sehat,” kata Hotman.

Masa Keemasan di Era T.D. Pardede

Dari catatan Hotman, periode 1970–1983 merupakan puncak kejayaan RSU HKBP Nainggolan. Kepemimpinan T.D. Pardede, seorang tokoh terkenal Sumatera Utara yang berkantor di Medan, membawa rumah sakit ini ke era gemilang.

“Fasilitas lengkap, staf terlatih, dan hubungan dengan Kementerian Kesehatan sangat baik. Hampir tiap minggu buletin dari pusat masuk, dan rumah sakit menjadi rujukan masyarakat dari berbagai kecamatan,” katanya.

Pada masa itu, rumah sakit mampu menangani berbagai penyakit umum, mulai dari TBC, infeksi saluran pernapasan, hingga pelayanan ibu dan anak. Keberadaan dokter spesialis seperti Prof. dr. Somuntul Parhusip, ahli paru yang datang sebulan sekali untuk pemeriksaan gratis, memperkuat reputasi rumah sakit.

Krisis dan Tantangan 1984–1986

Namun, masa keemasan tidak berlangsung lama. Hotman menuturkan, ketika dukungan finansial dari T.D. Pardede terhenti pada 1984, rumah sakit mengalami kemunduran drastis.

“Benar-benar morat-marit. Gaji pegawai terhenti, fasilitas rusak, dan pelayanan hampir lumpuh. Banyak pegawai berhenti atau memilih mencari pekerjaan lain,” ujarnya sambil mengenang masa sulit itu.

Krisis ini menjadi titik balik yang menentukan keberlangsungan rumah sakit. Jika tidak ada langkah penyelamatan, RSU HKBP Nainggolan berpotensi ditutup.

Penyelamatan oleh HKBP Sending

Pada 1987, Kepala Tata Usaha saat itu, Tumpak Siagian, berinisiatif menyelamatkan rumah sakit dengan membuka komunikasi ke sending HKBP Pearaja Tarutung. Hasilnya, RSU HKBP Nainggolan diintegrasikan ke dalam pelayanan sending HKBP, dengan seluruh biaya operasional ditanggung oleh sending.

“Integrasi ini seperti napas baru bagi rumah sakit. Operasional stabil kembali, dan pelayanan ke masyarakat berlanjut,” kata Hotman. Ia menambahkan, model ini menguatkan rumah sakit sebagai lembaga pelayanan berbasis gereja yang tetap menjaga profesionalisme medis.

Pelayanan Sosial dan Pengabdian Lapangan

RSU HKBP Nainggolan bukan hanya melayani di gedung rumah sakit. Para perawat dan dokter aktif melakukan kunjungan ke rumah-rumah masyarakat, khususnya di Onan Runggu, Lumban Buntu Sipira.

“Kalau ada yang sakit, perawat dan dokter siap berangkat kapan saja, bahkan malam hari. Ini bukan soal gaji, tetapi pengabdian,” ungkap Hotman.

Selain itu, rumah sakit juga rutin menyelenggarakan penyuluhan kesehatan dan memberikan obat gratis. Kehadiran dokter spesialis dari luar kota, meski hanya sebulan sekali, memberikan dampak signifikan pada pengendalian penyakit menular, terutama TBC.

Kendala Modernisasi dan Tidak Masuk BPJS

Meski memiliki sejarah panjang, RSU HKBP Nainggolan menghadapi tantangan modernisasi. Menurut Hotman, salah satu kendala besar adalah tidak masuknya rumah sakit dalam program BPJS Kesehatan.

“Akibatnya jumlah pasien menurun. Banyak masyarakat beralih ke fasilitas yang dijamin BPJS, sementara RS kami tetap bergantung pada tarif sosial dan kemampuan masyarakat membeli obat,” katanya.

Selain itu, beberapa fasilitas medis mulai tertinggal, alat kesehatan lama, dan belum ada pembaruan signifikan. Meski demikian, rumah sakit tetap menjadi tumpuan masyarakat yang membutuhkan pelayanan yang pembayarannya belakangan dan perawatan sosial.

Harapan Masa Depan

Meski menghadapi tantangan, Hotman tetap optimis. Di sisi timur rumah sakit, terdapat lahan kosong seluas setengah hektar yang dapat digunakan untuk pengembangan fasilitas.

“Lahan itu simbol harapan. Jika ada dukungan dari HKBP dan masyarakat, RSU HKBP Nainggolan bisa kembali menjadi kebanggaan Samosir,” katanya.

Sejarah yang Harus Dilestarikan

Bagi Hotman, dokumentasi sejarah rumah sakit sangat penting agar pengabdian para tenaga medis terdahulu tidak hilang.

“Rumah sakit ini saksi perjuangan masyarakat Nainggolan. Banyak orang mengabdi bukan demi gaji, tapi demi pelayanan. Sejarahnya harus dicatat dan diwariskan, ujarnya kepada Desrani Sitanggang mahasiswi USU Medan, menutup wawancara. ( dns)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *