Laporan Khusus Jurnalis Senior – Samosir, Sumatera Utara

Samosir, PRESTASIREFORMASI.Com
Banjir yang melanda sejumlah wilayah Tapteng, Sibolga dan kawasan sekitarnya dalam dua hari terakhir tak lagi sekadar genangan air musiman. Arus deras yang menyeret gelondongan kayu ke permukiman warga telah membuka sebuah pertanyaan besar yang tak bisa dihindari: ada apa di hulu sungai? Dan lebih jauh lagi: apa yang sebenarnya telah gagal?

Arus yang membawa batang-batang pohon berukuran besar bukanlah fenomena alami yang muncul hanya karena curah hujan tinggi. Dalam dunia konservasi, kondisi seperti ini dikenal sebagai alarm keras—tanda bahwa hutan telah rusak, tanah tidak lagi mampu menahan air, dan pengawasan lingkungan telah longgar dalam waktu lama.

Untuk memahami akar persoalan ini, redaksi mewawancarai Oloan Simbolon, mantan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dan tokoh masyarakat Samosir yang dikenal vokal dalam isu tata kelola lingkungan, kamis 27/11 di Pangururan Samosir.

“Ini Bukan Banjir Biasa. Ini Banjir yang Berbicara.”

Di sebuah kedai kopi sederhana di Pangururan, Oloan Simbolon menyambut awak media. Wajahnya serius, menyiratkan keprihatinan yang tak bisa ia sembunyikan sejak kabar banjir datang bertubi-tubi.

Ketika ditanya apa yang sebenarnya terjadi, ia menjawab tanpa ragu:

“Banjir itu bukan bencana alam. Itu bencana tata kelola. Kalau banjir sampai membawa gelondongan kayu, kita wajib bertanya: siapa yang menebang? Siapa yang mengizinkan? Dan siapa yang menutup mata?”

Menurutnya, banjir yang menimpa Sibolga, Tapteng dan sekitarnya bukan persoalan hujan ekstrem semata. Hujan memang turun deras, tetapi kerusakan lingkunganlah yang membuat air turun tanpa kendali.

Oloan mengulangi kalimat yang sudah lama ia sampaikan dalam berbagai forum:

“Air itu jujur. Air tidak pernah berbohong. Kalau dia turun menghancurkan, itu karena ada yang salah di atas sana—di hulu, di kebijakan, atau di pengawasan.”

Kerusakan Hulu Adalah Sumber Masalah yang Tak Pernah Diakui

Fenomena gelondongan kayu terbawa arus adalah indikator yang paling mudah dibaca. Pohon-pohon yang seharusnya menjadi penahan air kini hanyut sebagai bukti kerusakan ekosistem.

Oloan memaparkan penjelasan yang lebih analitis:

“Jika hutan masih utuh, tidak mungkin batang kayu sebesar itu ikut hanyut. Pohon-pohon tumbang bukan karena hujan, tetapi karena tanah yang tidak lagi mengikat akar. Itu artinya wilayah hulu telah diganggu.”

Dalam pengamatannya, ada beberapa kemungkinan penyebab:

penebangan pohon secara ilegal,

pengerukan tanah yang tidak terkendali,

pembukaan lahan tanpa analisis dampak lingkungan,

serta pembangunan yang tidak mengikuti aturan tata ruang.

Lebih jauh, ia menegaskan bahwa dokumen perencanaan seperti peta rawan banjir sering kali hanya menjadi formalitas.

“Banyak daerah punya peta rawan banjir, tapi apa gunanya kalau pemerintah tidak menindaklanjuti? Semua orang tahu daerah berisiko, tapi tetap dibangun. Itu bukan ketidak tahuan, itu pembiaran.”

Drainase dan Sungai Tidak Terurus: Banjir Jadi Kepastian

Selain kerusakan hutan, Oloan juga menyoroti persoalan teknis yang tak kalah penting. Drainase perkotaan yang tersumbat, sungai yang dangkal, dan normalisasi sungai yang tidak dilakukan secara rutin menjadi kombinasi mematikan ketika hujan turun.

“Bagaimana air mau mengalir kalau alur sungainya dangkal dan dipenuhi sampah? Bagaimana kota bisa aman kalau drainasenya dari tahun ke tahun tidak diperbarui?”

Ia menilai bahwa banyak daerah masih menganggap banjir sebagai fenomena tahunan yang tak bisa dihindari. Padahal, menurutnya, banjir bisa dicegah jika sistemnya benar.

“Banjir bukan takdir. Bahkan daerah paling hujan pun bisa aman kalau infrastrukturnya dirawat dan lingkungannya dijaga.”

Warga Menjadi Korban: Rumah Rusak, Jalan Terputus, Rasa Aman Hilang

Wawancara ini dilakukan di tengah jeritan warga yang mulai mengevakuasi barang-barang mereka. Beberapa rumah terendam, jalan desa di sejumlah titik terputus, dan akses antar wilayah sempat terganggu karena kayu dan lumpur menyumbat jalur.

Oloan menanggapi hal itu dengan nada tajam:

“Faktanya, masyarakat selalu menjadi korban dari sistem yang tidak berjalan. Mereka menanggung akibat dari kesalahan yang bukan mereka buat.”

Selain kerugian material, ia mengingatkan bahwa banjir berulang dapat mengikis kepercayaan publik.

“Kalau terus begini, rakyat lama-lama tidak percaya pemerintah mampu melindungi mereka.”

Desakan Keras untuk Pemerintah Stop Seremonial, Mulai Perbaikan

Oloan memberikan desakan yang langsung tertuju pada Pemerintah pusat. Menurutnya, ini bukan saatnya lagi menggelar rapat seremonial, apel kesiap siagaan, atau sekadar membuat slogan mitigasi.

Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata.

Ia menegaskan ada lima hal mendesak:

  1. Normalisasi sungai dan saluran air secara rutin, bukan menjelang bencana.
  2. Pengetatan pengawasan terhadap penebangan pohon, penambangan, dan pengerukan tanah.
  3. Larangan tegas terhadap alih fungsi lahan yang berada di area resapan air.
  4. Penataan ulang kawasan rawan longsor dan banjir.
  5. Pelibatan masyarakat sebagai pengawas lingkungan, bukan sekadar objek penderita.

“Pemerintah pusat dan daerah harus hadir sebelum bencana, bukan setelah warganya kebanjiran,” katanya dengan nada tegas.

Pendekatan Baru: Lingkungan Sebagai Inti Kebijakan, Bukan Catatan Kecil

Menutup wawancara, Oloan menyampaikan pandangan reflektif yang menjadi poin paling penting dari keseluruhan percakapan.

“Pembangunan tanpa menjaga lingkungan itu sama dengan menggali kubur sendiri. Lingkungan bukan catatan tambahan dalam pembangunan; lingkungan adalah fondasinya.”

Ia menegaskan bahwa ke depan, daerah yang terkena musibah banjir dan daerah sekitar membutuhkan kebijakan lingkungan yang berkelanjutan, tegas, dan tidak berubah-ubah.

“Kalau kita hanya bereaksi setiap kali banjir datang, selamanya kita akan sibuk mengurus korban. Kita harus memutus siklus itu.”

Ia menutup wawancara dengan kalimat yang menggema kuat:

“Air memberi tanda. Alam memberi peringatan. Yang kita butuhkan sekarang adalah pemerintah yang berani membaca tanda itu dan bertindak.” ( Hots)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *