
Catatan Nahar Frusta
Setengah tahun berjalan, disebut juga telah berlalu. Saat yang tak bisa diulang lagi, walau lewat satu detik saja, jaraknya pastilah sudah jauh sekali. Siapapun tak mampu kemasa itu. Yang telah berlalu, tak bisa diulang. Peristiwa itu dijadikan saja kenangan, Jika itu sebuah janji dan harapan, mestilah menunggu dengan sabar.
Tanpa menangisi sepuas puasnya atau menggugatnya agar segera dipenuhi.
Menangis dan menggugat adalah satu cara agar harapan yang pernah terucap dari seseorang, apakah dia seorang pemimpin, orangtua bahkan kekasih segera terealisasi atau terpenuhi.
Menangis pertanda masih saja berharap walau pun sudah tak mungkin didapatkan.
Kadang tangisan itu jadi bahan tertawaan pada diskusi para pemimpin kita pada jam jam kecil.
Menggugat itu sendiri adalah upaya keras untuk mendapatkan harapan, baik itu lewat teriakan, lempar-lempar yang berujung kejalur hukum.
Apakah janji-janji itu harus dipenuhi walaupun talah berlalu. Ya, Janji itu adalah untuk esok hari dan masa depan, Apalagi janji yang terucap dengan sapuan dan tepukan dibahu dengan kembut. Atau lewat suara lantang di atas podium dengan harapan mendapatkan dukungan atau pilihan dari banyak orang, didengar, direkam orang banyak.
Jika dikaitkan dengan pemimpin, pastilah ucapan dan janji kepada pendukungnya ditepati. Memang butuh waktu dan seberapa janji itu telah dibutuhkan. Menghargai orang yang menghormati pemimpin, dengan telah nemberikan dukungan penuh, hendakkah segera diwujudkan sebelum air mata menetes dan gugatan dilayangkan, Ini yang disebut pemimpin.
“Kami mendukung dan memilihmu adalah karena janjimu bahwa penderitaan kami akan segera berkurang dengan hadirnya engkau sebagai pemimpin baru kami!”
Ungkapan ini belum pernah dilepaskan oleh warga sebab mereka petani yang hidup dalam kekurangan, masih jauh dari kesejahateraan, masih jauh dari perhatian pemimpinnya.
Mereka adalah orang santun yang dibesarkan dalam ajaran agama dan dijagai oleh adat istiadat, mereka tak mampu mengejarmu lagi, sebab pemimpinnya telah berlari dengan cepat untuk mencapai hal yang besar dengan kepentingan orang besar.
Dulu pun kami menunggumu sebagai calon pemimpin datang ketempat kami, kami tinggalkan pekerjaan, ladang kami, sawah kami untuk bisa bertemu.
Ada yang beruntung bahwa sebagai calon pemimpin sempat menjumpai ke ladang dan ke sawah dengan senyuman. Tak ada lelah di sana, di sinilah harapan itu menjadi putik, menjadi buah dan akan panen bersama. Makan juga bersama.
Menunggu empat setengah tahun lagi. Mudah-mudahahan. Semoga harapan itu bisa terwujud ditengah jalan sebelum airmata kering atau suara telah parau.
Setelah empat setengah tahun lagi, semoga kami tidak lagi bagian dari pemilihan langsung. Biarlah wakil kami yang memilih, sehingga bisa menyelesaikan sesuatu dalam satu ruangan saja. Sehingga tak ada yang kami tagih dan kami tidak menangis lagi. (***)