Penyanyikit Autoimun penyebabb ibu Mikha Tambayong Meninggal dunia.

Bandung, PRi.Com – AUTOIMMUNE merupakan penyakit yang mematikan namun bisa dikendalikan. Meski demikian pengetahuan masyarakat mengenai penyakit berbahaya ini masih dirasakan kurang. Padahal diduga kuat penderitanya di Indonesia bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta orang.

“Penderita di Amerika Serikat berjumlah 50 juta orang namun di Indonesia yang terdata positif terkena penyakit ini baru 5.000 orang. Hal ini disebabkan masyarakat enggan memeriksakan penyakitnya secara menyeluruh karena harganya yang mahal yaitu Rp 1,9 juta sekali pemeriksaan tersebut,” kata ‎Marisza Cordoba, founder Marisza Cordoba Foundation, di Restoran Roemah Nenek, Jalan Taman Cibeunying Kidul, Kota Bandung pada Minggu 21 Juli 2019 malam.‎ 

Dalam kesempatan itu, lima warga Bandung Raya yang menderita penyakit autoimmune menerima penghargaan dari Marisza Cordoba Foundation, Clerry Cleffy Institute, dan Athira Foundation. Mereka juga mendapatkan modal usaha.

Pada acara weekend market, ‘A day full of happiness with autoimmune survivor’ ini, Marisza yang juga merupakan penderita autoimmune,‎ memaparkan bahayanya autoimmune ini.

Menurut Marisza autoimmune ini sama berbahayanya dengan kanker.

“Jika kanker itu adalah disebabkan mutanisasi sel yang merusak tubuh maka autoimmune merusak tubuh dari sel imunitas tubuh itu sendiri. Jadi ada masalah dari filterisasi antibodi tubuh, antibodi ini menyerang benda asing masuk ke tubuh tapi tidak bisa membedakan mana yang membahayakan dan mana yang tidak,” ucapnya.

Baca juga: Penyakit Autoimun Penyebab Ibu Mikha Tambayong Meninggal

‎Penyebab autoimmune ini menurut Marisza disebabkan terlalu banyaknya mengonsumsi makanan berbahan dasar terigu. Sehingga gluten yang terkandung dalam terigu ini merusak cara kerja sistem imunitas yang ada di usus dan lambung.

“Selain terigu yang‎ membahayakan ada bahan lain yang bisa menyebabkan autoimmune ini, di antaranya adalah pewarna makanan, penyedap rasa, pemanis buatan dan lainnya,” ucapnya.

Cegah penyebarannya

‎Meski autoimmune ini tidak bisa disembuhkan tetapi kata Marisza penyebarannya bisa dicegah ‎caranya adalah dengan hidup sehat. Semisal mengonsumsi kunyit atau sayur-sayuran yang baik untuk tubuh.

“Saya ini penderita autoimmune sejak berusia 4 tahun hampir selama 25 tahun saya bolak balik dokter, tetapi akhir-akhir ini saya tidak lagi mengonsumsi obat dan ke dokter karena hidup sehat,” ujarnya.

‎Oleh karenanya Marisza berharap ada kepedulian khusus dari pemerintah pusat bagi para penderita autoimmune tersebut.‎ Apalagi pembiayaan dari penderita autoimmune ini tidak ditanggung BPJS.

“Untuk pemeriksaan hingga akhir ini membutuhkan biaya Rp 10 juta, seperti kita tahu biaya awalnya saja Rp 1,9 juta,” katanya.

‎Salah seorang peserta acraa tersebut Atika Destiarasari (22) mahasiswi ITB jurusan astronomi yang juga penyandang autoimmune. Atika bahkan terpaksa mendapatkan nilai yang buruk karena kondisi kesehatannya yang naik turun.

“Kalau lagi sehat IPK saya bisa 3 lebih tetapi kalau lagi sakit bisa turun hingga 1 koma. Saya pun seharusnya sudah semester 8 namun karena sakit persendian saya sekarang jadi masih semester 6,” ucap penderita autoimmune yang menyerang bagian saraf ini.

‎Sementara itu Maya Lestari (29) harus menjaga emosinya dengan baik agar penyakit autoimmunenya tidak kambuh.

“Terakhir sehabis Idul Fitri 2018 lalu saya sempat koma selama 4 hari karena kecapekan. Saya kena penyakit ini sejak 2008 dan menyerang sendi, ginjal dan kulit otak,” ucapnya.

Ia mengaku sempat saya tidak ke dokter saat pertama kali melahirkan selama 2 tahun. “Mungkin karena saya merasa bahagia. Tapi kalau sekarang saya lagi galau maka saya melakukan zikir untuk meminimalisir emosi saya, karena kita penderita autoimmune ini agak baperan,” katanya.

Pendiri dan Direktur Clerry Cleffy Institute Dwi Prihandini menyatakan acara ini sebagai bentuk kasih sayang terhadap para penderita autoimmune ini.

“Mereka bisa hidup normal dan bisa beraktivitas seperti biasanya dikarenakan kesabaran mereka,” katanya.

Selain itu para penderita autoimmune di Kota Bandung ini mendapatkan modal usaha.

“Gerakan awalnya kita laksanakan di Bali, Bandung, Jakarta, Ternate dan Surabaya. Nanti 5 Kota besar lainnya menyusul semisal di Sorong Papua, diharapkan dengan begitu masyarakat paham bahaya dari penyakit autoimmune tersebut,” ucapnya. (h/PikRa/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *